Langsung ke konten utama

Fokuslah pada Cahaya, Rania!

Chapter 2

Sumber: pixabay


"Ran, kenapa sih kamu betah banget ngejomblo?", seloroh Gita siang itu.
Mata Rania menerawang ke penjuru kafe. Perlahan ia sandarkan tubuhnya pada kursi kayu dengan ukiran sederhana. 
Matanya tajam menatap sahabat di hadapannya yang tengah menyeruput jus strawberi dengan nikmat.
"Apa salahnya sih dengan jomblo?!? Kenapa kata ini selalu menjadi alasan siapapun untuk mengolok. Memangnya semenarik itu ya si jomblo ini sampai kalian semua gak berhenti menjadikannya buah bibir? Bosan tahu dengernya. Bahasan kalian ini lho ya, kok mentok disitu-situ aja, move on dong." rentetnya kesal.
"Ya elah Ran, biasa aja kali. Jangan baper." balas Gita.
"Bukannya baper Git. Aku tuh ya bosan jawabin pertanyaan yang sama sepanjang tahun. Kalau aku tahu jawaban pastinya, pakai rumus sekalian deh aku kasih jawabannya. Biar gak usah nanya terus, sodorin aja tuh rumus, cari tahu sendiri jawabannya pake rumus. Biar yang nanya ikutan mikir, jangan cuma bisanya membebani pikiran orang lain aja. Banyak hal yang lebih urgent untuk di pikirin lho. Kasih solusi dong jangan nanya doang!" balasnya panjang.
"Iya deh iya, ampun. Udah udah jangan manyun. Senyum dong ah," canda Gita mencoba mencairkan kembali suasana.

Begitulah Rania sekarang. Mudah tersinggung saat pertanyaan rawan seperti itu mampir di telinganya. Tapi ia tetap menjaga lisannya dari kata-kata penuh hujat, mana berani ia bicara seperti barusan jika yang bertanya orang lain. Ya, ia berani bicara dengan nada jengkel sekaligus curcol hanya pada Gita. Sahabat terbaiknya. Yang setia menemani kapanpun Rania membutuhkan kehadirannya. Hingga kini, walaupun Gita sudah menjadi seorang nyonya sedangkan Rania masih berstatus lajang.

Entah mengapa, pertanyaan serupa itu yang dulu Rania anggap angin lalu kini mulai membelenggu pikirannya. Ia mudah kesal dan jengkel tiap kali mendengar pertanyaan mengolok yang gak kelar kelar ini. Dari dulu, bertahun tahun yang lalu, jaman Rania masih lugu, hingga sekarang, disaat usia Rania sudah jelang tiga puluh, saat saat rawan bagi seorang perempuan untuk melepas masa lajang, dan pertanyaan itupun belum menemui tanda tanda akan berakhir. Entah sampai kapan. Rania pasrah. Ia yakin, Allah sudah menyiapkan yang terindah pada waktunya. Namun, tetap saja pertanyaan itu bagai menusuk hatinya yang mulai merapuh. 
"By the way, gimana tentang rencana nyokap?"
Pertanyaan tiba tiba sejenak membuyarkan lamunan Rania.
"Tau deh" jawabnya cuek
"Coba pertimbangin lagi. Gak ada salahnya loh dicoba. Kan cuma perkenalan dulu, kalo oke lanjut, kalo enggak juga pasti mereka gak bakal maksain kok. Aku yakin. Aku tuh kenal keluargamu kan gak sehari dua hari. Aku tahu, papa mama pasti mau yang terbaik tanpa mencipta luka baru." Gita berseloroh panjang, mencoba meyakinkan kembali Rania yang sempat bimbang.
"Entahlah Git." 
"Rania. Aku tahu, pikiranmu saat ini pasti lagi ruwet ruwetnya, dan dalam keadaan begitu, seringkali kita terjebak dalam keputusan yang keliru. Ada baiknya, kamu ambil cuti. Refreshing. Biar otakmu lebih fresh."
"Thanks Git, mungkin bener, saat ini yang paling aku butuhin adalah piknik." Segaris senyum terukir pada bibir mungilnya.
Gita menepuk lembut pundak Rania. 
"Jangan patah semangat Ran. Setidaknya kamu masih punya keluarga yang sangat peduli. Juga Allah yang tak akan pernah sedetikpun meninggalkan kita sendirian." Ujar Gita bijak memberi semangat.
"Juga sahabat terbaik yang selalu mendukung dan menghibur kayak kamu ya Git?" 
"Hahaha. Kamu mah bisa aja deh Ran bikin aku berbunga bunga. Tuh kan, akunya jadi geer nih". 
"Hehehe. Thanks again ya Git". Ucapnya tulus seraya memeluk erat sahabat terbaiknya itu.
Rania kembali menggenggam semangat baru. Ia tak boleh larut dalam kesedihan terlalu lama. Ada banyak hal telah ia capai dan patut disyukuri penuh penuh. Bukan hanya terpaku pada kesedihan yang tidak seberapa.
"Balik yuk Git."
"Yuk. Kamu yang bayarin kan Ran?"
"Hadewh, pake nanya, kayak baru pertama aja."
"Hihihi. Thanks my lovely Rania, kamu emang terbaik deh"
"Ada maunya aja muji muji." 

Sejurus kemudian, mereka pun beranjak menuju kasir dan meninggalkan kafe yang kini terlihat semakin ramai.
Rania mungkin tak sepenuhnya mampu mengusir mendung yang tetap bergelayut di sudut hati, namun dengan dukungan dan kepedulian orang orang yang mengasihinya dengan tulus, ia yakin akan mampu melewati semuanya dengan lebih tegar dan bahagia.


#komunitasonedayonepost
#odop_6
#fiksi

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenalkan Literasi Sejak Dini Lewat Program 'Duta Baca Cilik'

Sejak tujuh hari yang lalu, saya telah mendaftarkan Abang dalam kegiatan literasi bertajuk 'Duta Baca Cilik' yang infonya saya dapatkan melalui sebuah postingan di Facebook.  Begitu membaca, saya langsung tertarik untuk ikut serta, walaupun saya belum yakin, apakah bisa konsisten mengikuti rule yang diberlakukan, karena kebetulan pada saat yang bersamaan, saya sedang memegang banyak amanah yang harus ditunaikan. Namun, demi menemukan kembali ritme kebersamaan bersama duo krucil, saya pun 'menerima' tantangan ini. Dan, sejak Senin lalu, resmilah kami sebagai bagian dari peserta 'Duta Baca Cilik'. Sebuah kegiatan literasi, dimana, kami, para peserta, diwajibkan untuk membaca atau membacakan buku setiap hari.  Sebuah gerakan, yang memiliki tujuan untuk saling mendukung dan memotivasi para Ibunda dalam mengenalkan literasi sejak dini dengan pembiasaan membaca / membacakan buku setiap hari kepada buah hatinya. Bagi saya, ini kesempatan em

Menggali Potensi Diri dengan Menulis Antologi

Pict: Pixabay Bismillahirrohmaanirrohiim... Tahun ini adalah tahunnya panen buku antologi. Huaaa... ini bahagianya campur-campur sih. Antara senang tapi gemes, soalnya perbukuan ini kok ya launchingnya hampir berbarengan... *kekepindompet Terlepas dari itu, ya pastinya saya sangat bersyukur dong, sekaligus bangga, ternyata saya bisa mengalahkan bisik ketakutan dalam diri yang merasa tak mampu, malas hingga cemas. Bisa nggak ya? Bagus nggak ya? Laku nggak ya? *ups Sebenarnya, dari awal, tujuan saya ikut berkontribusi dalam even nulis buku bareng ini, hanya karena ingin punya karya, yang kelak bisa juga membuat saya, setidaknya merasa bangga dan bersyukur pernah berkontribusi dalam membagikan kemanfaatan dari apa yang saya miliki.  Entah pengetahuan walau cuma seuprit, atau pengalaman yang baru seumur jagung, atau sekedar curahan hati yang bisa diambil hikmahnya oleh yang membaca. *semoga 🤲 Makanya, saat launching buku, saya tidak ngoyo untuk promosi. Atau mung

Lintang, Sang Penghibur

Pixabay Hai namaku Lintang.  Ini kisahku dengan seseorang yang sangat aku sayangi... Orang-orang mengenalnya sebagai penemu alat pembunuh kanker yang kini sedang menjadi pembicaraan banyak kalangan. Katanya dia bergelar Profesor Doktor. Tapi ia memperkenalkan diri sebagai 'War' padaku saat kita pertama kali berbincang. Karena kupikir ia terlihat sangat dewasa, dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya, memberi kesan begitu 'pintar', maka kuputuskan untuk memanggilnya "Papi War". Namun, tahukah kalian, pertemuan pertama kali dengannya adalah ketika ia sedang menunggu bus di salah satu halte.  Ia terlihat basah kuyup. Memang hari itu hujan deras tengah mengguyur kota.  Aku terduduk lemas di sampingnya, menatap jalanan yang mulai tergenang air hujan. Sekilas ia menoleh padaku. Akupun menoleh padanya. Namun dia hanya diam saja. Akhirnya kuberanikan diri saja mengajak dia bicara terlebih dulu. Awalnya ia cuek saja. Ta