Sumber: koleksi pribadi |
Pada hakikatnya, seorang anak adalah pembelajar sejati. Ia tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah yang tertanam dalam jiwanya. Tanpa perlu dipaksakan, ia akan berjalan mengikuti sunnatullah.
Ia terlahir dengan sempurna, membawa tiga potensi diri yang telah Allah karuniakan sebagai bekal menapaki kehidupan, menjadi seorang khalifah di bumi.
Manusia dan alam semesta tak akan pernah bisa terpisahkan, secanggih apapun teknologi yang kini kian bergaung. Nyatanya, kerusakan akibat ulah manusia tak terelakkan. Teknologi tak menjamin kehidupan manusia terbebas dari kebergantungan terhadap alam. Suka tidak suka, pada akhirnya manusia masa kini kembali berdamai dengan alam. Mereka mulai concern terhadap kelestarian alam, dan berupaya seoptimal mungkin mendayagunakan kekayaan alam secara lebih efektif, efisien dan ramah.
Berbagai teknologi ramah lingkungan kini mulai menjamur. Semua berlomba menisbatkan karyanya sebagai produk ramah lingkungan.
Manusia modern kini seolah tersadarkan, alam adalah sumber kekayaan dan kebaikan yang harus dijaga dan dilestarikan. Maka tak ayal, pendidikan usia dini pun tak lepas dari trend ini.
Orang tua masa kini, yang notabene memiliki anak yang hidup di era milenial, mulai ketar ketir menatap masa depan anaknya kelak.
Alam sudah terasa tak bersahabat lagi, karena ulah manusia yang semena-mena. Maka berduyun orang tua milenial kembali menggaungkan pentingnya menjaga kelestarian alam.
Karenanya, pendidikan anak sudah tak bisa dipisahkan lagi dengan alam. Mendekatkan anak dengan alam sudah menjadi keharusan. Selain untuk kembali mengakrabkan mereka dengan alam agar lebih memiliki rasa sayang dan peduli, juga pengajaran bebasis pendekatan alam pun dirasa sesuai dengan fitrah yang disandang manusia, yang cenderung suka bereksplorasi dengan alam.
Maka tak diragukan lagi, bagi seorang balita,
alam adalah kawan baiknya. Ia begitu terobsesi dengan segala unsur alam. Ketika ia bertemu dengan alam, nalurinya akan serta merta menerjemahkan ini sebagai sesuatu yang menyenangkan.
Adakah anak kecil yang tidak suka bermain tanah, air, batu, kayu dan sejenisnya? Secara alamiah mereka akan tertarik pada hal berbau alam. Betah berlama lama berkecipuk dalam air, tak mau berhenti mengorek dan menghambur tanah, teramat girang menumpuk dan melempar batu.
Ya, kecenderungan ini bisa berubah hanya karena pengaruh dari orang yang lebih dewasa, yang kerap melarang, mencekoki pikiran mereka dengan kata "jangan!" "kotor", "jijik", dan sebagainya.
Wahai ayah, wahai ibu. Biarkanlah ananda "berguru" dengan alam. Tak usah kau sibuk memutus rasa ingin tahunya dengan penolakan bertubi-tubi.
Cukup saja kau amati dan observasi. Berilah ia ruang untuk berekspresi dan bereksplorasi. Tugasmu hanyalah memfasilitasi sembari tetap mengawasi. Menjaga ia tetap aman saat bermain, tanpa risau yang berlebihan. Jika dirasa perlu, cukup kau edukasi, mana yang masih bisa ditolerir mana yang sekiranya membahayakan. Biarkan nalarnya mencerna kata demi kata dengan lebih nyaman, bukan dalam ketakutan dan kekhawatiran berlebihan.
Buatlah pembelajaran terasa menyenangkan. Bukan sesuatu yang menyeramkan, yang kelak membuat ia malas mencari tahu, enggan menggali potensi diri, dan cuek dengan kondisi alam. Karena ia terlanjur menjauh dari alam, merasa asing dan tak cukup peduli dengan isu kerusakan lingkungan yang kini kian merajalela.
Mari kita kembalikan fitrah anak kita, agar kelak ia tumbuh menjadi manusia paripurna, manusia rahmatan lilalamin. Khalifah bumi, penjaga kedamaian dan kelestarian alam semesta raya.
*imho*
#odop_6
Terimakasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. 🙏😊
Komentar
Posting Komentar