Langsung ke konten utama

SETULUS CINTA DEWI

Courtesy: Google

"Segumpal rasa itu kau sebut cinta
Seperti pelangi selepas hujan
Ada rindu disana
Bersemayam dalam harapan
Yang perlahan memudar
Saat rasamu ternyata tak kunjung terbalas"

Dewi Maharani. Kisah asmaranya seumpama puisi. Indah membuai namun hanya ilusi.
Berbilang masa ia setia. Namun waktu tak jua berpihak padanya. Adakah bahagia tersisa untuknya?
***

"Wi, kamu habis ketemu lagi sama si Wijaya?" Suara ibu menggetarkan udara, menyambut kedatangan anak perempuan satu-satunya itu.
Dewi bergeming. Matanya lekat menatap semburat cahaya mentari yang memantul lembut dari sebalik jendela.
"Wi, kenapa sih kamu terus memaksakan diri. Wijaya itu sudah beranak istri. Sudahlah, berhenti saja sampai disini. Sudah telalu banyak kamu berkorban untuknya," Wanita paruh baya itu menambahkan, kembali menasehati gadisnya untuk kesekian kali.
Perlahan si gadis pemilik mata sayu menghela nafas, sejenak mengumpulkan kekuatan untuk membalas ucapan ibunda tercinta.
"Buk, istri mas Wijaya itu sudah bertahun tahun tak ada kabar. Mas Wi tidak bermaksud menyakiti hati Dewi kok, Ia hanya sedang dalam dilema...," ucapnya hati-hati. "Bukan salahnya pula, kalau ia tak jua bisa menerima uluran tanganku hingga kini. Posisinya serba sulit. Aku mengerti dan tak keberatan dengan semua yang kini kulakoni."
"Tapi wi...."
"Mungkin ia kini sendiri, tapi masih merasa terikat oleh status sebagai suami, walaupun istrinya nyata-nyata sudah mencampakkannya dan menelantarkan kedua anak mereka. Aku hanya gak tega liat anaknya yang masih kecil harus terlantar karena tak ada yang mengurusi. Aku cuma membantu menjagakan anaknya, tidak lebih," timpal Dewi, memotong ucapan ibuk yang terdengar keberatan dengan apa yang ia katakan.
"Tenang saja Buk, aku tahu apa batasan antara kami. Toh akupun tak pernah berduaan dengannya, aku langsung berpamitan begitu mas Wi tiba, sepulang dari bekerja," ucapnya meyakinkan, mengakhiri perdebatan sore ini seraya beringsut menuju kamarnya.
Ibunda tak kuasa menahan tangis, namun tak jua sanggup membantah ucapan anaknya yang terdengar begitu teguh. Ia tahu, Dewi, anak perempuannya itu tak akan mungkin berbuat keji, namun hati kecilnya merasa tersayat, setiap kali menyaksikan gadisnya sendu, menyimpan rasa yang dalam, tanpa kepastian kapan rasanya akan menerima balasan serupa.
Derai tangisnya semakin terisak.
Dewi menoleh, sejenak langkahnya terhenti demi mendengar isak tangis wanita tegar berhati lembut yang ia panggil Ibuk itu semakin lirih.
"Buk, Allah itu tidak pernah tidur. Aku ikhlas membantu mas Wijaya, bukan karena mengharap balas cinta. Biar Allah saja yang menghitung, insyaAllah hitunganNya tak akan sedikitpun keliru. Tugasku hanya taat. Selama apa yang aku lakukan tidak bersebrangan dengan aturanNya, Ibuk tak usah cemas ya.... Doakan saja, semoga Dewi bisa melalui ujian ini dengan sempurna, semoga kelak Allah membalas dengan yang lebih baik lagi bahkan yang terbaik, Buk." Dewi perlahan menghampiri Ibunda yang terpekur dalam raut kesedihan. Lengannya melingkar lembut memeluk tubuh ringkih sang ibunda. Tangis kembali memecah, namun Dewi semakin teguh dengan jalan yang ia pilih. Baginya, cinta adalah memberi sebanyak apa yang kita punya, tanpa berpikir untuk mengejar balas budi yang tak seberapa, kecuali mengaharap sebaik-baik balasan dari Dia Sang Maha Cinta, Sang Penggenggam Kehidupan. Biarlah rasa itu tetap terjaga pada tempatnya, hingga kelak waktu berbaik hati memulihkan luka, menggantinya dengan tawa bahagia.


*Naskah cerita yang ditulis untuk sebuah even dari Rumah Fiksi



Terimakasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. 🙏😊

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenalkan Literasi Sejak Dini Lewat Program 'Duta Baca Cilik'

Sejak tujuh hari yang lalu, saya telah mendaftarkan Abang dalam kegiatan literasi bertajuk 'Duta Baca Cilik' yang infonya saya dapatkan melalui sebuah postingan di Facebook.  Begitu membaca, saya langsung tertarik untuk ikut serta, walaupun saya belum yakin, apakah bisa konsisten mengikuti rule yang diberlakukan, karena kebetulan pada saat yang bersamaan, saya sedang memegang banyak amanah yang harus ditunaikan. Namun, demi menemukan kembali ritme kebersamaan bersama duo krucil, saya pun 'menerima' tantangan ini. Dan, sejak Senin lalu, resmilah kami sebagai bagian dari peserta 'Duta Baca Cilik'. Sebuah kegiatan literasi, dimana, kami, para peserta, diwajibkan untuk membaca atau membacakan buku setiap hari.  Sebuah gerakan, yang memiliki tujuan untuk saling mendukung dan memotivasi para Ibunda dalam mengenalkan literasi sejak dini dengan pembiasaan membaca / membacakan buku setiap hari kepada buah hatinya. Bagi saya, ini kesempatan em

Menggali Potensi Diri dengan Menulis Antologi

Pict: Pixabay Bismillahirrohmaanirrohiim... Tahun ini adalah tahunnya panen buku antologi. Huaaa... ini bahagianya campur-campur sih. Antara senang tapi gemes, soalnya perbukuan ini kok ya launchingnya hampir berbarengan... *kekepindompet Terlepas dari itu, ya pastinya saya sangat bersyukur dong, sekaligus bangga, ternyata saya bisa mengalahkan bisik ketakutan dalam diri yang merasa tak mampu, malas hingga cemas. Bisa nggak ya? Bagus nggak ya? Laku nggak ya? *ups Sebenarnya, dari awal, tujuan saya ikut berkontribusi dalam even nulis buku bareng ini, hanya karena ingin punya karya, yang kelak bisa juga membuat saya, setidaknya merasa bangga dan bersyukur pernah berkontribusi dalam membagikan kemanfaatan dari apa yang saya miliki.  Entah pengetahuan walau cuma seuprit, atau pengalaman yang baru seumur jagung, atau sekedar curahan hati yang bisa diambil hikmahnya oleh yang membaca. *semoga 🤲 Makanya, saat launching buku, saya tidak ngoyo untuk promosi. Atau mung

Lintang, Sang Penghibur

Pixabay Hai namaku Lintang.  Ini kisahku dengan seseorang yang sangat aku sayangi... Orang-orang mengenalnya sebagai penemu alat pembunuh kanker yang kini sedang menjadi pembicaraan banyak kalangan. Katanya dia bergelar Profesor Doktor. Tapi ia memperkenalkan diri sebagai 'War' padaku saat kita pertama kali berbincang. Karena kupikir ia terlihat sangat dewasa, dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya, memberi kesan begitu 'pintar', maka kuputuskan untuk memanggilnya "Papi War". Namun, tahukah kalian, pertemuan pertama kali dengannya adalah ketika ia sedang menunggu bus di salah satu halte.  Ia terlihat basah kuyup. Memang hari itu hujan deras tengah mengguyur kota.  Aku terduduk lemas di sampingnya, menatap jalanan yang mulai tergenang air hujan. Sekilas ia menoleh padaku. Akupun menoleh padanya. Namun dia hanya diam saja. Akhirnya kuberanikan diri saja mengajak dia bicara terlebih dulu. Awalnya ia cuek saja. Ta