![]() |
Source: Google |
Peralihan teknologi terjadi begitu cepat, bagai ulat memakan dedaunan, sekejap saja. Lesatan waktu seakan memacu manusia untuk terus berlomba-lomba mencipta teknologi paling super. Banyak teknologi yang (mungkin) dahulu dianggap aneh dan impossible, kini menjadi sesuatu yang biasa. Menjadi komoditi sehari-hari yang keberadaannya sangat dibutuhkan. Contoh paling dekat adalah penggunaan gawai yang seolah telah menjadi kebutuhan dasar, sejajar dengan sandang, pangan dan papan pada era terdahulu.
Ya, kemajuan teknologi memang sangat membantu, membuat pekerjaan terasa lebih ringan, efektif dan efisien. Namun kemanjaan yang ditawarkan teknologi masa kini tak mampu menggantikan riak syahdu dalam dada yang menggelitik dan sangat dinanti, ketika di suatu senja pak pos dengan sepeda tuanya membunyikan bel seraya menyerahkan sebuah amplop putih polos yang bertuliskan nama 'dia' sebagai pengirim. Karena tidak semua yang berbau masa kini mampu menggantikan kenangan penuh kesan di jamannya.
Ya, kemajuan teknologi memang sangat membantu, membuat pekerjaan terasa lebih ringan, efektif dan efisien. Namun kemanjaan yang ditawarkan teknologi masa kini tak mampu menggantikan riak syahdu dalam dada yang menggelitik dan sangat dinanti, ketika di suatu senja pak pos dengan sepeda tuanya membunyikan bel seraya menyerahkan sebuah amplop putih polos yang bertuliskan nama 'dia' sebagai pengirim. Karena tidak semua yang berbau masa kini mampu menggantikan kenangan penuh kesan di jamannya.
Terlebih lagi, percepatan teknologi ternyata tak otomatis membuat peradaban moral manusia semakin tinggi. Nyatanya, manusia beradab di bumi terasa semakin langka. Lihat saja isu demi isu silih bergulir, mulai dari penganiayaan, pelakor, hingga isu LGBT. Marak sekali. Miris, bukan?
Ketika keterbatasan memaksa kita untuk terus belajar, mencari tahu, berjuang dengan gigih, maka mental manusia tertempa semakin kuat. Sebaliknya, ketika kemudahan demi kemudahan kita peroleh tanpa perlu berjuang sekeras manusia terdahulu, mental generasi muda semakin ciut.
Ketika keterbatasan memaksa kita untuk terus belajar, mencari tahu, berjuang dengan gigih, maka mental manusia tertempa semakin kuat. Sebaliknya, ketika kemudahan demi kemudahan kita peroleh tanpa perlu berjuang sekeras manusia terdahulu, mental generasi muda semakin ciut.
Tetapi, tak dipungkiri, keberadaan teknologi yang memanjakan dengan limpahan informasi yang sangat mudah diakses tanpa perlu bersusah payah mendaki terjalnya pegunungan hingga arungi ombak samudera, membuat kita bisa memiliki informasi dengan cepat dan akurat walau belum tentu benar. Bagaimana tidak, ketika anak-anak dahulu hanya bermain dengan tanah dan batu, di era milenial ini kanak-kanak kita sudah disuguhi dengan tayangan televisi maupun youtube dengan konten yang beragam. Dari hiburan semata hingga pengetahuan, dari pepesan kosong hingga tayangan berbobot yang dikemas cantik, menarik dan mengasikkan.
Jika diibaratkan, mungkin generasi pra milenial adalah generasi baja, yang bermental kuat, tak mudah hancur ketika terjatuh dan tak mudah terpatahkan hanya karena gertakan. Sedang generasi milenial adalah generasi porselain yang mudah pecah ketika terjatuh dan mudah retak hanya karena timpaan buku tebal.
Maka, bijaklah dalam menggunakan teknologi, karena senjata tajam sekalipun akan sangat bermanfaat saat digunakan sesuai dengan fungsinya. Karena tak ada satupun penemuan mutakhir yang dengan sengaja dicipta hanya sekedar untuk membuat kerusakan dan membahayakan. Kecuali adanya campur tangan iblis yang tak henti menggoda manusia agar serupa dengannya.
*imho*
9.9.18
#onedayonepost
#tantanganODOP1
#odopbatch6
Ramuan aksaranya josss kaa...
BalasHapusMasyaAllah, masih belajar kaka. Moga kita makin joss ya di odop 6. 😄
Hapusudah buat tugas tantangan aja mbak
BalasHapusHihi, biar nyantai besoknya gak mikirin tantangan lagi... 😅
HapusNice artikel 😉
BalasHapusThanks 🙏
HapusSuka dengan gaya menulisnya mbakyu, semanagt terus ya, ��
BalasHapusMasyaAllah, alhamdulillah. Terimakasih apresiasinya, penyemangat banget ini. 😘
Hapus