Langsung ke konten utama

Musik Klasik versus Musik Tradisional


Judul film: Our Shinning Days (2017)
Cast:
  • Xu Lu (Chen Zing)
  • Peng Yuchang (Li you)
  • Luo Mingjie (Wang Wen)
Asal film: China
Genre: comedy romance
Durasi: 103 menit

Beberapa bulan ke belakang, di newsfeed akun facebook saya muncul cuplikan sebuah film yang membuat jari saya tak kuasa menolak menekan tombol play.
Benar kan, adegan yang terlihat kemudian membuat saya betah menonton sampai akhir. Menarik. Kata pertama yang terlintas di kepala. Sayangnya, saat itu saya tidak menemukan informasi lebih lanjut apa gerangan judul film tersebut.
Ajaibnya, semalam, ketika iseng berselancar di platform youtube, tampaklah satu channel yang mempost sebuah film drama asia berjudul "Our shinning days" yang ternyata adalah versi full dari cuplikan adegan film di facebook. Kebetulan lagi di kelas fiksi odop ada tugas mereview film, pucuk dicinta ulam pun tiba. 

Film ini bergenre comedy romance. Berlatar dinsebuah sekolah musik. Kisahnya mainstream ala drakor, cinta segitiga, cinta bertepuk sebelah tangan. Yang membedakan dan membuatnya unik adalah latar tempat dan konfliknya yang memadukan unsur seni, musik klasik versus musik tradisional yang sedikit diperciki animasi anime.

Kisah bermula ketika tokoh utama wanita, Chen Zing yang diperankan oleh Xu Lu terpesona akan permainan solo piano seorang siswa musik klasik bernama Wang Wen. 
Namun sudah menjadi rahasia umum, hubungan siswa musik klasik dan siswa musik tradisional tidak harmonis. Termasuk Wang Wen yang bersikap skeptis terhadap alat musik tradisional Yangqin, yang dimainkan oleh Chen Zing. 

Chen Zing yang naif justru semakin tertantang untuk mendekati WangWen, ia bertekad akan memperlihatkan kemahirannya memainkan YangQin di hadapan Wang Wen.

Singkat cerita, Chen Zing berhasil tampil prima bersama grup yang baru di bentuknya dalam satu moment yang diadakan komunitas ACG (Animation, Comics and Games). Unggahan video penampilan mereka tersebar luas, dan sampai juga pada Wang Wen.

Nah, disini puncak konfliknya, titik balik seorang Chen Zing bermula, setelah ia dengan telak mendapat penolakan yang cukup memalukan dari seorang Wang Wen.

Adegan yang paling saya sukai adalah pertarungan antara kelas musik klasik dan kelas musik tradisional yang sangat memukau. Persis sama seperti cuplikan film yang saya lihat di facebook.


Satu lagi tentunya, puncak konflik pada penghujung film, penampilan sangat memukau kolaborasi antara pemain musik tradisional china dengan praktisi ACG. 
Megah dan seru sekaligus menghangatkan hati. Musik yang indah dan memanjakan telinga. 

Kelemahan dari film ini menurut saya justru pada bagian dramanya, kisah cinta segitiga nya gak bikin greget sih. Terasa flat. 

Tapi pesan moral yang di usung terasa sangat kuat. 
Banggalah dengan budaya negerimu sendiri. Bertanggung jawablah  dengan pilihanmu, lakukan dengan sepenuh hati, niscaya engkau akan bangga dan bahagia dengan apa yang kau punya.

Walau ada beberapa adegan dan karakter yang menurut saya terlalu lebay, namun secara keseluruhan film ini sangat menghibur.
Dari lima bintang, film ini layak mendapatkan empat dari saya. 
Like this movie. 



#KelasFiksiODOP6
#TugasReviewFilm
#OneDayOnePost

Terimakasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. 🙏😊

Komentar

  1. Wah..ini review top nih. Bikin pengen nonton filmnya. Dan sy suka sekali drama musikal atau film2 yg musikal gtu. Top nih kak. Makasih ya sudah direview film ini

    BalasHapus
  2. Belom nonton. Bagi2 linknya skalian

    BalasHapus
  3. Aku suka musik tapi gak bisa main musik, dan belum nonton film ini pastinya. Kapan bisa ya?

    BalasHapus
  4. Aku blom nonton, tp setelah bc reviewnya jd ngerti alur ceritanya.

    BalasHapus
  5. Kisahnya kok saya dengan drakor lama ya? Mirip Heartstring. Kalau baca reviewnya sih konflik dan segala pernak-perniknya mirip. Jadi ada gambaran seperti apa kisah film ini. 😆

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenalkan Literasi Sejak Dini Lewat Program 'Duta Baca Cilik'

Sejak tujuh hari yang lalu, saya telah mendaftarkan Abang dalam kegiatan literasi bertajuk 'Duta Baca Cilik' yang infonya saya dapatkan melalui sebuah postingan di Facebook.  Begitu membaca, saya langsung tertarik untuk ikut serta, walaupun saya belum yakin, apakah bisa konsisten mengikuti rule yang diberlakukan, karena kebetulan pada saat yang bersamaan, saya sedang memegang banyak amanah yang harus ditunaikan. Namun, demi menemukan kembali ritme kebersamaan bersama duo krucil, saya pun 'menerima' tantangan ini. Dan, sejak Senin lalu, resmilah kami sebagai bagian dari peserta 'Duta Baca Cilik'. Sebuah kegiatan literasi, dimana, kami, para peserta, diwajibkan untuk membaca atau membacakan buku setiap hari.  Sebuah gerakan, yang memiliki tujuan untuk saling mendukung dan memotivasi para Ibunda dalam mengenalkan literasi sejak dini dengan pembiasaan membaca / membacakan buku setiap hari kepada buah hatinya. Bagi saya, ini kesempatan em

Menggali Potensi Diri dengan Menulis Antologi

Pict: Pixabay Bismillahirrohmaanirrohiim... Tahun ini adalah tahunnya panen buku antologi. Huaaa... ini bahagianya campur-campur sih. Antara senang tapi gemes, soalnya perbukuan ini kok ya launchingnya hampir berbarengan... *kekepindompet Terlepas dari itu, ya pastinya saya sangat bersyukur dong, sekaligus bangga, ternyata saya bisa mengalahkan bisik ketakutan dalam diri yang merasa tak mampu, malas hingga cemas. Bisa nggak ya? Bagus nggak ya? Laku nggak ya? *ups Sebenarnya, dari awal, tujuan saya ikut berkontribusi dalam even nulis buku bareng ini, hanya karena ingin punya karya, yang kelak bisa juga membuat saya, setidaknya merasa bangga dan bersyukur pernah berkontribusi dalam membagikan kemanfaatan dari apa yang saya miliki.  Entah pengetahuan walau cuma seuprit, atau pengalaman yang baru seumur jagung, atau sekedar curahan hati yang bisa diambil hikmahnya oleh yang membaca. *semoga 🤲 Makanya, saat launching buku, saya tidak ngoyo untuk promosi. Atau mung

Lintang, Sang Penghibur

Pixabay Hai namaku Lintang.  Ini kisahku dengan seseorang yang sangat aku sayangi... Orang-orang mengenalnya sebagai penemu alat pembunuh kanker yang kini sedang menjadi pembicaraan banyak kalangan. Katanya dia bergelar Profesor Doktor. Tapi ia memperkenalkan diri sebagai 'War' padaku saat kita pertama kali berbincang. Karena kupikir ia terlihat sangat dewasa, dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya, memberi kesan begitu 'pintar', maka kuputuskan untuk memanggilnya "Papi War". Namun, tahukah kalian, pertemuan pertama kali dengannya adalah ketika ia sedang menunggu bus di salah satu halte.  Ia terlihat basah kuyup. Memang hari itu hujan deras tengah mengguyur kota.  Aku terduduk lemas di sampingnya, menatap jalanan yang mulai tergenang air hujan. Sekilas ia menoleh padaku. Akupun menoleh padanya. Namun dia hanya diam saja. Akhirnya kuberanikan diri saja mengajak dia bicara terlebih dulu. Awalnya ia cuek saja. Ta