Kokok ayam menanda pagi, semburat jingga membias lembut langit fajar. Bulir embun menggantung di dedaunan. Udara pagi masih terasa segar, sebelum siang mulai menjelang, saat segala aktivitas mulai meramai, deru suara berbaur pengapnya udara penuh jelaga.
Di sebalik rumah bercat hijau, hiruk pikuk penghuninya mulai terlihat. Terdengar teriakan membangunkan yang tak kunjung mendapat jawaban, karena seseorang yang tengah meringkuk pulas di peraduannya tak kunjung membuka mata.
Kesal membangunkan, seorang wanita setengah baya menyerah. Ia kembali menuju dapur, meneruskan kesibukannya, memasak, menyiapkan sarapan untuk semua penghuni rumah yang masih terlelap.
Jam berdentang enam kali. Pria tambun tercekat bangun. Segera beranjak dari pembaringan, menuju kamar mandi. Subuhnya telat lagi. Bergegas mengambil wudlu, dan solat seadanya.
"Bu, kok aku tidak dibangunkan?" ucapnya menghampiri sang istri yang kini sedang merendam cucian.
"Bukannya tidak dibangunkan, Pak. Yang tidur udah kayak kesumbat kupingnya. Sampai capek aku teriak-teriak," ucapnya kesal.
Lelaki yang di panggil bapak menggaruk kepala, salah tingkah.
"Anak-anak belum bangun bu?"
"Meniru bapaknya!" jawabnya singkat.
Masnan, lelaki tambun berhidung bangir segera beringsut ke dalam. Ia tahu, istrinya sedang sangat kesal. Jalan teraman adalah dengan menjaga jarak sebelum amarahnya meledak.
"Mandi dulu pak!" teriakan kencang sang istri memaksanya menghentikan langkah. Ia berbelok menuju kamar mandi, menarik handuk yang tersampar di rak jemuran dengan cepat.
Hampir pukul tujuh, seluruh anggota keluarga sudah terduduk rapi di ruang makan, bersiap menyantap sarapan. Aroma sedap nasi goreng spesial buatan ibu semerbak memenuhi ruangan.
Ibu kembali mengomel.
"Makanya, bangun itu jangan kalah sama kokok ayam. Tuh liat jam. Mau nyampe jam berapa, jam segini masih pegang sendok sama garpu."
Seisi ruangan bergeming, mereka sudah mafhum dengan emosi ibu yang naik turun. Apalagi jelang PMS. Sudah tak ada harapan untuk membantah.
Tania, si sulung, remaja tanggung berusia lima belasan, merapikan piring bekas makan ke tempat cucian, lalu mengangsurkan tangan ke hadapan ibu, berpamitan.
"Tania berangkat ya bu, assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan, jangan buru-buru, biar saja, memang sudah kadung kesiangan, jangan ngebut-ngebut, jangan menambah masalah," rentet ibu menimpali.
"Iya, bu."
Rania menyampirkan tas selempang di pundaknya, segera berlari menjauh sebelum amarah ibu semakin meluap.
Sejenak ibu mengerling ke arah bapak.
Bapak berdehem menutupi kekikukkan.
"Ehem. Ayo Lan, kita berangkat. Sudah siang nih," selorohnya melirik anak bungsunya yang masih asik menikmati sarapan.
"Nasi gorengku masih loh pak," sanggahnya.
Bapak menepukkan tangannya ke pundak Harlan, "Ayo, sudah siang!" ucapnya tegas.
Harlan segera mengikuti bapak yang telah lebih dulu berpamitan pada ibu yang tengah menatap tajam pada mereka.
Harlan tergopoh menjajari langkah bapak.
"Kenapa bapak nggak bilang sih kalau ibu lagi "kumat?" bisik Harlan ketika sudah di luar rumah.
Bapak diam saja.
"Nih," seru bapak seraya menyerahkan helm pada Harlan.
"Sudah, biarkan saja. Ibu lagi capek. Yuk ah, kita berangkat, jangan sampai bikin ibu makin kesal."
Ibu yang mendengar sayup-sayup obrolan dua lelakinya itu mengulum senyum. Ah, bersyukurnya ia, mendapati suami dan kedua anaknya yang memahami penyakit "mood swingnya", setidaknya, itu bisa meringankan gejala "mendadak kesal" yang seringkali hadir ketika penat melanda tanpa kompromi, terlebih menjelang pms.
"Wahai Allah, mohon lindungi dan jagalah suami dan kedua anakku dari segala marabahaya, liputilah mereka dengan kasih sayang dan rahmatMu. Aamiin," lirihnya sebelum akhirnya menutup pintu, dan kembali bercengkrama dengan urusan domestik dan perdapuran.
#odop_6
#komunitasonedayonepost
Terimakasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. 🙏😊
Komentar
Posting Komentar