Langsung ke konten utama

Aku dan Sepotong Mimpi


Pixabay

Pagi menjelang. Aku menggeliat.
Cahaya matahari menghangatkan tubuhku. Aroma apel semerbak terhidu. Kubuka mata perlahan. Kutolehkan kepala, mencari darimana sumber bau yang membuat liur dalam mulutku tak henti membasah.

Aku lelah. Entah sudah berapa lama kubertahan. Mendaki ketinggian yang tak jua kugapai. Hanya hamparan hijau mengelilingiku. Kulahap dengan cepat sekedar mengisi perut.

Perjalanan panjang ini membuatku takut. Sudah tak adakah sepercik harapan? Andai semua mimpiku tak jua berwujud, mungkin kelak aku kan teronggok di suatu sudut kesunyian. Tanpa siapapun. Hanya aku dan kepayahan yang kusesali.

Kutengadahkan kepala. Menatap langit pagi bermentari. Kicau burung meramai. Seolah sedang mengolok diriku yang hanya tergeletak dalam kepasrahan.

Lebah, capung, hingga kepik terlihat asik kepakkan sayapnya. Lincah berpindah dari satun pohon ke pohon lainnya. Aku iri pada mereka. Tuhan, mengapa kau ciptakan aku tanpa sayap?

Hingga musim berganti, ketakutan membuatku terlelap dalam gelap. Siang malam sudah tak ku hirau lagi. Perutku sudah terisi penuh. Tak ada rasa lapar mengganjal, maka nikmat Tuhan yang manakah yang aku dustakan?

Seketika, segala lara seolah berpamitan. Yang tertinggal hanyalah diriku dan kesyukuran. Tak ada sesal, tak ada kesedihan. Aku merasa sangat bahagia.

Pagi kembali menjelang. Namun ada rasa berbeda yang menyerta. Aku menggeliat, terbangun dari tidur panjangku. Udara segar menghembus perlahan. Kilau embun menggantung di tepi daun. Sejenak ku tatap pantulan gambarku disana. Aku terpana. Kucoba picingkan mata, meyakinkan diri, bahwa apa yang terpantul disana adalah wujudku. 

Tuhan, begitu besar karuniaMu. Aku semakin bahagia. Bukan karena tak mensyukuri masa lalu. Namun, jika boleh jujur, nyatanya aku jauh lebih suka menatap pantulanku yang sekarang. 

Kepakan sayap. Ya, kini aku pun memilikinya. Bahkan jauh lebih indah ketimbang milik si lebah atau si capung. Maka nikmat Tuhan manakah yang kudustakan. 

Tuhan, terimakasih, sekarang aku semakin yakin, bahwa janjiMu selalu benar. Bersyukurlah, maka Allah akan melipatkan kenikmatanNya untukmu. Ya, akulah bukti nyata bagaimana Tuhan bekerja dengan sangat sempurna. Maha Benar Allah, dengan segala firmanNya.

#odop_6
#komunitasonedayonepost

Terimakasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. 🙏😊

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lintang, Sang Penghibur

Pixabay Hai namaku Lintang.  Ini kisahku dengan seseorang yang sangat aku sayangi... Orang-orang mengenalnya sebagai penemu alat pembunuh kanker yang kini sedang menjadi pembicaraan banyak kalangan. Katanya dia bergelar Profesor Doktor. Tapi ia memperkenalkan diri sebagai 'War' padaku saat kita pertama kali berbincang. Karena kupikir ia terlihat sangat dewasa, dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya, memberi kesan begitu 'pintar', maka kuputuskan untuk memanggilnya "Papi War". Namun, tahukah kalian, pertemuan pertama kali dengannya adalah ketika ia sedang menunggu bus di salah satu halte.  Ia terlihat basah kuyup. Memang hari itu hujan deras tengah mengguyur kota.  Aku terduduk lemas di sampingnya, menatap jalanan yang mulai tergenang air hujan. Sekilas ia menoleh padaku. Akupun menoleh padanya. Namun dia hanya diam saja. Akhirnya kuberanikan diri saja mengajak dia bicara terlebih dulu. Awalnya ia cuek ...

SETULUS CINTA DEWI

Courtesy: Google "Segumpal rasa itu kau sebut cinta Seperti pelangi selepas hujan Ada rindu disana Bersemayam dalam harapan Yang perlahan memudar Saat rasamu ternyata tak kunjung terbalas" Dewi Maharani. Kisah asmaranya seumpama puisi. Indah membuai namun hanya ilusi. Berbilang masa ia setia. Namun waktu tak jua berpihak padanya. Adakah bahagia tersisa untuknya? *** "Wi, kamu habis ketemu lagi sama si Wijaya?" Suara ibu menggetarkan udara, menyambut kedatangan anak perempuan satu-satunya itu. Dewi bergeming. Matanya lekat menatap semburat cahaya mentari yang memantul lembut dari sebalik jendela. "Wi, kenapa sih kamu terus memaksakan diri. Wijaya itu sudah beranak istri. Sudahlah, berhenti saja sampai disini. Sudah telalu banyak kamu berkorban untuknya," Wanita paruh baya itu menambahkan, kembali menasehati gadisnya untuk kesekian kali. Perlahan si gadis pemilik mata sayu menghela nafas, sejenak mengumpulkan kekuatan untuk membalas ucapan ibunda ...

Menggali Potensi Diri dengan Menulis Antologi

Pict: Pixabay Bismillahirrohmaanirrohiim... Tahun ini adalah tahunnya panen buku antologi. Huaaa... ini bahagianya campur-campur sih. Antara senang tapi gemes, soalnya perbukuan ini kok ya launchingnya hampir berbarengan... *kekepindompet Terlepas dari itu, ya pastinya saya sangat bersyukur dong, sekaligus bangga, ternyata saya bisa mengalahkan bisik ketakutan dalam diri yang merasa tak mampu, malas hingga cemas. Bisa nggak ya? Bagus nggak ya? Laku nggak ya? *ups Sebenarnya, dari awal, tujuan saya ikut berkontribusi dalam even nulis buku bareng ini, hanya karena ingin punya karya, yang kelak bisa juga membuat saya, setidaknya merasa bangga dan bersyukur pernah berkontribusi dalam membagikan kemanfaatan dari apa yang saya miliki.  Entah pengetahuan walau cuma seuprit, atau pengalaman yang baru seumur jagung, atau sekedar curahan hati yang bisa diambil hikmahnya oleh yang membaca. *semoga 🤲 Makanya, saat launching buku, saya tidak ngoyo ...