Langsung ke konten utama

Ayah dan Kapal Van der Wijck

Namaku Rosita. Ayahku berprofesi sebagai reporter. Profesi yang membuatnya sangat tidak punya waktu untukku. Terkadang, oleh sebab pekerjaan itu, aku tidak bisa bertemu dengannya hingga beberapa hari. Aku sangat kesal sekaligus sedih. Aku benci pekerjaan ayahku. Ya, dulu, sebelum insiden itu terjadi, yang justru karena kesibukan ayahku bekerja, ia terlambat datang, dan itulah yang rupanya yang menyelamatkan kami dari kecelakaan.

Ayah bekerja di salah satu surat kabar lokal di Surabaya. Ketika itu, usiaku baru sebelas tahun. Kami berencana akan pergi berkunjung ke rumah oma di Jakarta. Sudah lama aku tak pernah bepergian bersama ayahku. Karena kesibukannya, ia selalu tak punya waktu untuk menemani kami, bahkan jika hanya mengantarkan ke pelabuhan. Tapi, kali ini lain. Rupanya, ayah sengaja mengambil cuti demi bisa bepergian bersama kami. Kami berencana naik kapal dari Tanjung Perak menuju Tanjung Priok, Jakarta. Mungkin ayah tak ingin melihat aku ngambek lagi. Ya, pokoknya, hari ini hatiku sangat senang.

Sedari semalam, ibu terlihat sibuk mempersiapkan ini itu. Semua pakaian yang kami perlukan pun sudah dikemas rapi dalam tas besar. Aku membantunya sedikit. Ya, karena tangan kecilku, rupanya tidak segesit miliknya. Tapi aku puas melihat semua persiapan sudah dibereskan, termasuk semua keperluan ayah. Itu artinya, besok, tanggal 20 Oktober 1936, kami benar-benar akan berangkat bersama ayah. 

Namun, hingga jam berdentang sepuluh kali, ayah belum juga pulang. Ibu menatapku lembut. Rupanya ia menangkap kecemasan dari wajahku.

"Ayo Ros, tidur sana. Istirahat saja dulu, jangan tunggu Ayah. Mungkin ayah masih ada kerjaan yang harus dibereskan sebelum cuti besok." Ibu mengusap lembut kepalaku sambil tersenyum. Seolah meyakinkanku, bahwa besok kami pasti akan berangkat.

Aku mengangguk lemah. Walau kecewa tak bisa bertemu ayah hari ini, tetapi aku berusaha untuk meyakinkan diriku sendiri. Tak mengapa hari ini ayah telat pulang, toh besok kami akan seharian bersama. Membayangkan itu, membuatku kembali bersemangat.

Ayam berkokok penanda pagi menjelang. Aku lekas bangun. Di ruang tengah, tampak ibu sedang menyiapkan perbekalan. Namun aku tak menemukan ayah. 

"Bu, ayah mana?"
"Ayah tak pulang, Nak."
Aku mengernyitkan dahi. Ayah tak pulang? Apakah itu artinya kami tak jadi bepergian hari ini?
Ibu menatapku lembut. Ia tersenyum menenangkan, seolah ia tahu isi hatiku.
"Jangan khawatir. Kita jadi pergi. Nanti kita ketemu ayah di Pelabuhan Tanjung Perak. Ayah langsung berangkat dari tempat kerja." Ah begitu rupanya. Syukurlah. Aku pun segera mandi dan bersiap. Kami berangkat menuju pelabuhan dengan naik taksi. 

Jalanan pagi ini tampak agak ramai. Banyak kendaraan berlalu lalang. Apakah mereka semua akan ke pelabuhan juga, sama seperti kami? 

Dua puluh menit berlalu, akhirnya kami pun tiba di pelabuhan. Aku menatap sekeliling, berharap menemukan sosok ayah diantara ratusan manusia yang berlalu-lalang? Namun, akubtak menemukannya.

"Bu, ayah belum datang?" tanyaku cemas.
Ibu hanya menggeleng sebagai jawaban.
Aku semakin cemas. Ku lihat kapal besar yang sudah semakin penuh dengan penumpang. 

Pict by popularmovies.info

Kapal Van der Wijck. Ku coba mengeja namanya yang terlihat jelas di salah satu sisi badan kapal. Itulah kapal yang harusnya kami naiki. Namun, ayah belum juga datang. Kami tak bisa naik tanpa ayah. Kami masih tetap setia menunggu walau dengan penuh kecemasan.

Aku kembali merajuk pada Ibu.
"Bu, kenapa ayah belum datang?"
"Entahlah ... Tak usah cemas, Ros. Sebentar lagi mungkin ayah akan datang. Kita berdoa saja, semoga tidak terjadi apa-apa."
Aku diam saja. Aku kesal. Mengapa ayah tidak menepati janji. Tak berapa lama, kulihat kapal Van der Wijck terlihat melaju perlahan. Aku sontak berlari. Ibu yang tak meprediksi gerakaku, segera mengejar.
"Ros tunggu. Mau kemana?"
"Bu, itu kapal kita, Bu. Sudah pergi. Kenapa kita tidak naik? Mungkin ayah sudah di dalam?" 
"Tidak, Nak. Ayah menyuruh kita menunggu di sini."
Aku menangis, "Ayah jahat. Mengapa ayah ingkar janji lagi, Bu?" 
Ibu hanya memelukku erat. Aku tahu, ia pun kecewa sama sepertiku. Namun ia mencoba menutupinya, dan berusaha menenangkanku. 

Setelah lama menunggu, ayahpun datang. Ia berlari tergopoh-gopoh. 
"Maaf, Ros. Ayah tak bermaksud mengecewakanmu. Tapi ada sesuatu yang harus ayah selesaikan di kantor dan tidak bisa ditunda. Ayah janji, esok lusa kita berangkat, ya ..."
Aku tak menyahut. Aku benci Ayah!

Setibanya di rumah, aku langsung menuju kamar. Kubanting pintu sekerasnya. Ayah dan ibu tak menyusulku. Mungkin mereka memberi waktu padaku untuk melampiaskan kekesalan hatiku. Aku menangis sejadi-jadinya.

Hingga esok hari menjelang, dan tak kulihat sosok ayah. Kemana lagi ia pergi? Kenapa sih ia sangat sibuk. Apa ayah tak lagi sayang padaku?

Kulihat ibu terduduk di teras. Ia menatap jauh ke cakrawala. 

"Bu, ayah mana?"
"Ros, syukurlah kita selamat, Nak ..." Ibu memelukku erat sambil menangis sesenggukan.
Selamat? Memangnya ada apa? 
"Ros, rupanya Allah masih memberikan keselamatan kepada kita, dengan membuat ayah telat tiba di pelabuhan kemarin. Kapal yang harusnya kita naiki itu, semalam tenggelam. Syukurlah kita tak jadi naik kapal itu kemarin." Ibu semakin erat memelukku.
Benarkah? Jadi aku menyalahkan ayah yang tak menepati janji, tetapi justru karena itulah kami selamat? Aku tak mengerti, tapi berita ini membuatku merasa bersyukur.

Beberapa hari kemudian, berita tentang tenggelamnya Kapal Van der Wijck ramai dibicarakan. Seluruh koran, baik lokal, nasional hingga internasional pun memberitakannya. Aku dan ibu pun membaca salah satu berita dalam koran yang setiap pagi dikirim ke rumah.

Berdasarkan informasi tersebut, diketahui bahwa penumpang kapal Van der Wijck saat berlabuh di Tanjung Perak berjumlah 250 orang, empat diantaranya meninggal dunia saat kecelakaan, dan 45 orang dinyatakan hilang.

Aku tak lagi marah, saat mendapat kabar, ayah tak pulang hari ini. Mungkin ia sibuk meliput kecelakaan, atau hal lainnya yang perlu orang ketahui. Aku baru tahu sekarang, rupanya pekerjaan ayah begitu mulia. Setidaknya, lewat membaca berita, kami bisa mendapat kabar yang memang kami butuhkan. Aku bangga dengan Ayah. Ya, walaupun masih menyisakan sedikit kecewa padanya. Semoga saja esok hari, kami benar-benat bisa bepergian bersama. 




#TugasRCOlevel4
#RCObatch6


Terima kasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. 🙏😊

Komentar

  1. Keren. Kadang kita tidak sabar menerima sesuatu yang sebenarnya sangat baik buat kita.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih. 😁

      Tapi, lebih keren yang punya mas Suden ... asli bikin ketawa, kreatif banget. 🤭

      Hapus
  2. Jujur sebenarnya karena udah tau kapal vanderwick itu kapal yang akan tenggelam jadi pas baca klimaksnya jadi kurang greget. Hehe

    Tapi keren asli, aku yakin nulis latar sejarah itu gak gampang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau bukan karena tugas RCO, enggak bakalan nulis cerita kayak gini sih. The power of kepepet.

      Yang penting tugas terpenuhi. 😂

      Hapus
  3. Nice story. Bagaimana ayah dan ibu berkirim kabar dengan cepat? Lewat telepon ya? Pasti mereka keluarga yang kaya 😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. 🤭
      Terima kasih sudah berkunjung, Mbak. 🥰

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenalkan Literasi Sejak Dini Lewat Program 'Duta Baca Cilik'

Sejak tujuh hari yang lalu, saya telah mendaftarkan Abang dalam kegiatan literasi bertajuk 'Duta Baca Cilik' yang infonya saya dapatkan melalui sebuah postingan di Facebook.  Begitu membaca, saya langsung tertarik untuk ikut serta, walaupun saya belum yakin, apakah bisa konsisten mengikuti rule yang diberlakukan, karena kebetulan pada saat yang bersamaan, saya sedang memegang banyak amanah yang harus ditunaikan. Namun, demi menemukan kembali ritme kebersamaan bersama duo krucil, saya pun 'menerima' tantangan ini. Dan, sejak Senin lalu, resmilah kami sebagai bagian dari peserta 'Duta Baca Cilik'. Sebuah kegiatan literasi, dimana, kami, para peserta, diwajibkan untuk membaca atau membacakan buku setiap hari.  Sebuah gerakan, yang memiliki tujuan untuk saling mendukung dan memotivasi para Ibunda dalam mengenalkan literasi sejak dini dengan pembiasaan membaca / membacakan buku setiap hari kepada buah hatinya. Bagi saya, ini kesempatan em

Menggali Potensi Diri dengan Menulis Antologi

Pict: Pixabay Bismillahirrohmaanirrohiim... Tahun ini adalah tahunnya panen buku antologi. Huaaa... ini bahagianya campur-campur sih. Antara senang tapi gemes, soalnya perbukuan ini kok ya launchingnya hampir berbarengan... *kekepindompet Terlepas dari itu, ya pastinya saya sangat bersyukur dong, sekaligus bangga, ternyata saya bisa mengalahkan bisik ketakutan dalam diri yang merasa tak mampu, malas hingga cemas. Bisa nggak ya? Bagus nggak ya? Laku nggak ya? *ups Sebenarnya, dari awal, tujuan saya ikut berkontribusi dalam even nulis buku bareng ini, hanya karena ingin punya karya, yang kelak bisa juga membuat saya, setidaknya merasa bangga dan bersyukur pernah berkontribusi dalam membagikan kemanfaatan dari apa yang saya miliki.  Entah pengetahuan walau cuma seuprit, atau pengalaman yang baru seumur jagung, atau sekedar curahan hati yang bisa diambil hikmahnya oleh yang membaca. *semoga 🤲 Makanya, saat launching buku, saya tidak ngoyo untuk promosi. Atau mung

Lintang, Sang Penghibur

Pixabay Hai namaku Lintang.  Ini kisahku dengan seseorang yang sangat aku sayangi... Orang-orang mengenalnya sebagai penemu alat pembunuh kanker yang kini sedang menjadi pembicaraan banyak kalangan. Katanya dia bergelar Profesor Doktor. Tapi ia memperkenalkan diri sebagai 'War' padaku saat kita pertama kali berbincang. Karena kupikir ia terlihat sangat dewasa, dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya, memberi kesan begitu 'pintar', maka kuputuskan untuk memanggilnya "Papi War". Namun, tahukah kalian, pertemuan pertama kali dengannya adalah ketika ia sedang menunggu bus di salah satu halte.  Ia terlihat basah kuyup. Memang hari itu hujan deras tengah mengguyur kota.  Aku terduduk lemas di sampingnya, menatap jalanan yang mulai tergenang air hujan. Sekilas ia menoleh padaku. Akupun menoleh padanya. Namun dia hanya diam saja. Akhirnya kuberanikan diri saja mengajak dia bicara terlebih dulu. Awalnya ia cuek saja. Ta