Langsung ke konten utama

Jejakku di Sudut September



Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan mengikuti tantangan menulis puisi dari sebuah akun di instagram dengan tema 9hari9puisi.

Tantangannya adalah membuat puisi berdasarkan interpretasi kita terhadap penggalan puisi yang telah ditentukan setiap harinya.

Apalah saya yang bikin puisi pun masih 'abal-abal', jadi mengikuti tantangan ini pun memang tidak berharap menang atau di-repost.

Hanya saja, setelah sekian lama vakum konsisten menulis setiap hari di akun instagram, berasa kangen dan kehilangan. Maka, even ini menjadi pengobat rindu. 😁

Namun, karena baru mulai lagi, dan ada beberapa kendala lainnya, alhasil saya pun lagi-lagi gagal konsisten menulis tepat waktu.

Sedih sih. Tapi tak perlu disesali, bukan?

Untuk menyemangati diri sendiri, saya memutuskan untuk menuntaskan apa yang saya mulai, walaupun sebenarnya sudah melewati jauh sekali batas waktu yang ditentukan.

Ya, rupanya belajar konsisten itu cukup berat.

Maka, buat kalian semua, yang berhasil menaklukan diri sendiri dengan konsisten menulis setiap hari, kalian luar biasa. Percayalah, kalian sungguh luar biasa! 👏

Tak perlu berkecil hati jika tulisanmu tidak banyak dibaca orang, ataupun merasa masih banyak kekurangan. Terus saja menulis.

Karena untuk menjadi penulis yang baik dan menghasilkan karya yang bisa diterima dengan baik oleh semua orang, memang cara satu-satunya adalah dengan terus konsisten menulis.

Percayalah, dengan konsisten menulis saja, kemampuan menulismu akan semakin berkembang. Dengan diimbangi dengan membaca tulisan yang baik, tentu saja.

Setidaknya, jika dulu menulis itu terasa memberatkan, dengan berlatih konsisten menulis setiap hari, semakin hari kita justru akan semakin menikmatinya. Bahkan, jika tidak menulis sehari saja, kita akan merasakan kehilangan.

Begitulah.

...

Berikut adalah puisi-puisi 'abal-abal' yang sudah saya tuliskan dalam rangka 'menaklukan' tantangan 9hari9puisi.

Mohon krisannya bagi para senior dan semua yang berkenan membacanya. 🙏


*Bianglala Berkisah*

Kisah kita seumpama bianglala
Penuh warna

Kisah kita seumpama bianglala
Penuh kejutan

Kisah kita seumpama bianglala
Penantian

Kisah kita seumpama bianglala
Menakjubkan

Usah kau tangisi gerimis
Pandanglah langit dengan seksama
Disebalik rinai
Bianglala terpoles sempurna

*Ikrar Cinta*

Cinta sebatas kata?
Manis ...
Hangat ...
Menggetarkan ...

Benarkah cinta hanya perkara rasa?

Jika kau bisa membuat hatiku berbunga
Kaulah cinta ...
Andai kau mampu membuat wajahku merona
Kaulah cinta ...
Seumpama kau sanggup membuatku merasa kasmaran
Kaulah cinta ...

Naif!

Cinta tak sedangkal itu, Bung!

Sederhana saja
Cukup menjadi dirimu apa adanya

Bukan berarti tak berbuat apa-apa
Karena cinta begitu mulia, sakral dan istimewa

Nyatakanlah ia dengan penuh hormat
Bukan sembarang merayu
Beradu kata penuh pesona

Cinta butuh nyali, Bung!
Buktikan cintamu dengan komitmen

Saling menjaga
Saling memelihara
Saling menghebatkan

Ikrarkanlah!
Saya terima nikahnya ...

*Merindu Rindu*

Ada rasa yang tak tergantikan
Kecuali oleh temu
Rindu!

Kelebat bayang memburu
Seakan de javu, pada dimensi ruang waktu
Yang bersisian dengan jarak masa lalu
Rindu!

Menunggu
Menghitung detak detik
Memeluk kenangan
Menembus batas cakrawala
Rindu!

Rindu?

Meratapi kerinduan yang penuh
Namun entah pada siapa
Atau apa?

Hanya hampa
Saat rindu kembali berlalu
Dalam penantian kosong
Entah pada siapa
Atau apa?

Rindu!
Ya, hanya Rindu ...

*Kata Kita*

Di sudut senja
Kulihat katakata berkelindan di udara
Beterbangan seumpama dedaunan tertiup angin
Kukibas sebuah jaring untuk menangkapnya
Hingga kita bisa menyulamnya bersama:
selimut yang menghangatkan hati

Pada petang berbeda
Engkau khusuk menatap katakata di ujung cakrawala
Perlahan mengibas jaring yang berbeda
Kemudian menjahit katamu dengan sunyi
Dan aku hanya menunggu

*Rentang Masa*

Kala muda, manusia bisa jumawa
Seolah asa bisa diperdaya
Bulirbulir cerita mengudara
Tentang cita, harta dan kuasa

Bercengkerama dengan kemelut rasa
Bersisian dengan aneka pergulatan
Beririsan dengan sekelumit prahara

Namun detik terus berdentang
Melantunkan irama yang sama
Tidak lambat
Tak jua cepat

Hingga tiba di suatu masa
Ketika semesta kian renta
Segala upaya terasa hampa
Seolah 'raga' tak lagi berdaya

Dunia!
Sungguh elok dipandang mata
Setiap diri berlomba mendapatkannya
Namun pada akhirnya
Yang kau bawa hanyalah jiwa

*Mengenang Kenang*

Meniti mimpi di ujung senja
Tanpa tatap jelita
Tanpa damai dekapan
Hanya ego di sebalik ambisi

Kukira ku sudah melupa
Segala kenang
Semua harapan yang tertinggal

Nyatanya
Kelebatmu tetap membayangi
Dalam wujud penyesalan
Dan sayangnya
Sudah beratus senja yang lalu
Ku halau dengan jumawa

Aku rindu!

Hanya itu yang kini tersisa dari kita

Entah dahulu
Ataupun esok hari
Sepertinya
Jejakmu
Selalu ada
Dalam asaku

Walau kutahu
Masa kita telah usai

Kau hanya sebatas masa lalu
Hanya kenangan!

*Perempuan Sunyi*

Jika angan sebatas hampa,
Begitukah perempuan?

Hanya sekedar angan tanpa harapan?!?
...

Kaum Adam dan kaum Hawa
Begitu mereka memberi nama

Bukan untuk membeda
Namun sekedar penegas
Bahwa Adam dan Hawa hanyalah manusia

Tak ada yang lebih sempurna dari keduanya
Karena mereka istimewa dengan caranya

Maka perempuan dengan segala kelemahannya tetap mulia
Walaupun tugasnya tidak 'seprestisius' para lelaki pujaannya

Maka, masihkah kita memandang rendah peran perempuan, hanya karena ia menyimpan 'suara' dalam 'sunyi'?

*Cermin Dusta Semesta*

Apakah dunia hanya sekedar hitam dan putih?
Si Baik dan Si Buruk
Si Jujur dan si Dusta

Tak adakah dusta yang mulia?
Menyembunyikan kebenaran demi sebuah kebaikan, misalnya

Tak pernahkah kalian perhatikan?
Tidak semua yang terpandang mata adalah nyata

Mungkin saja,
Di sebalik tawa ada luka yang menganga
Di sebalik canda ada derita yang menyerta
Di sebalik bahagia ada tangis yang berderai-derai

Bukan sebab dusta
Atau sekedar berpura-pura
Hanya saja mereka mencoba berdamai dengan jalan takdirnya

Karena rasa, tidak selalu bergandengan dengan logika
Mungkin di matamu, itu sekedar derita
Namun baginya, itu hanyalah cara Tuhan untuk melapangkan jiwa

Cukupkah kita menilai hanya sebatas logika?!?

*Tentang Pemaknaan*⁣

Kita selalu merasa⁣
Bahwa Tuhan tak pernah adil⁣
Sementara sang Penguasa bersuka ria,⁣
Di sudut bumi lainnya⁣
Meringkuk si Malang yang hilang harapan⁣

Begitukah?⁣

Bukankah Tuhan sangat Pemurah?⁣
Bahkan tumbuhan sekalipun⁣
mendapat haknya dengan sempurna⁣

Masihkah ada keraguan⁣
Tentang keadilan Tuhan?⁣
...⁣

Jika aku, kau dan mereka⁣
Yang tinggal entah dimana⁣
Sesuka itu pada dunia fana⁣
Hingga saling berlomba menjadi yang ternama⁣

Mungkin pemaknaan kita yang menyimpang⁣
Karena adil tak melulu soal materi, bukan?⁣

⁣(Karya @jejakzia
Jatiwangi, September 2019⁣)


#ODOPbersamaEstrilook
#Day13


Terimakasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. 🙏😊

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenalkan Literasi Sejak Dini Lewat Program 'Duta Baca Cilik'

Sejak tujuh hari yang lalu, saya telah mendaftarkan Abang dalam kegiatan literasi bertajuk 'Duta Baca Cilik' yang infonya saya dapatkan melalui sebuah postingan di Facebook.  Begitu membaca, saya langsung tertarik untuk ikut serta, walaupun saya belum yakin, apakah bisa konsisten mengikuti rule yang diberlakukan, karena kebetulan pada saat yang bersamaan, saya sedang memegang banyak amanah yang harus ditunaikan. Namun, demi menemukan kembali ritme kebersamaan bersama duo krucil, saya pun 'menerima' tantangan ini. Dan, sejak Senin lalu, resmilah kami sebagai bagian dari peserta 'Duta Baca Cilik'. Sebuah kegiatan literasi, dimana, kami, para peserta, diwajibkan untuk membaca atau membacakan buku setiap hari.  Sebuah gerakan, yang memiliki tujuan untuk saling mendukung dan memotivasi para Ibunda dalam mengenalkan literasi sejak dini dengan pembiasaan membaca / membacakan buku setiap hari kepada buah hatinya. Bagi saya, ini kesempatan em

Menggali Potensi Diri dengan Menulis Antologi

Pict: Pixabay Bismillahirrohmaanirrohiim... Tahun ini adalah tahunnya panen buku antologi. Huaaa... ini bahagianya campur-campur sih. Antara senang tapi gemes, soalnya perbukuan ini kok ya launchingnya hampir berbarengan... *kekepindompet Terlepas dari itu, ya pastinya saya sangat bersyukur dong, sekaligus bangga, ternyata saya bisa mengalahkan bisik ketakutan dalam diri yang merasa tak mampu, malas hingga cemas. Bisa nggak ya? Bagus nggak ya? Laku nggak ya? *ups Sebenarnya, dari awal, tujuan saya ikut berkontribusi dalam even nulis buku bareng ini, hanya karena ingin punya karya, yang kelak bisa juga membuat saya, setidaknya merasa bangga dan bersyukur pernah berkontribusi dalam membagikan kemanfaatan dari apa yang saya miliki.  Entah pengetahuan walau cuma seuprit, atau pengalaman yang baru seumur jagung, atau sekedar curahan hati yang bisa diambil hikmahnya oleh yang membaca. *semoga 🤲 Makanya, saat launching buku, saya tidak ngoyo untuk promosi. Atau mung

Resep Praktis Membuat Ebi Furai

Alhamdulillah , masa-masa krisis pada proses penyapihan telah usai. Setelah sekitar semingguan dibikin cemas, sedih sekaligus galau karena anak gadis kelihatan semakin layu setiap hari akibat sakit dalam masa penyapihan, kini ibu bisa bernapas lega. Setelah keluar dari badai kegalauan, akhirnya masa 'panen' pun tiba. Kini ibu bisa dengan tenang mengantar anak gadis tidur siang dan malam tanpa rengekan. Kalau sudah terlihat terkantuk-kantuk, cukup diboyong ke tempat tidur, dengan sedikit diayun-ayun dulu sebentar dalam gendongan, dan kemudian anak gadis pun segera terlelap dengan nyaman.  Masya Allah, tabarakallah. Nah, selepas masa 'mogok' makan berakhir, terbitlah masa mulai doyan makan.  Kebetulan duo krucil ini lagi gemar sekali makan udang balut tepung roti, alias ebi furai.  Jadi, ibu manfaatkan saja peluang ini sebelum mood makan mereka kembali surut. Paling tidak, seminggu tiga kali mungkin ya ibu bergulat dengan perudangan akhir-