Credit: pixabay & canva |
Terkadang bahasa tulisan tak seindah kenyataan.
Bahkan prahara sekalipun, dalam bentuk tulisan dengan diksi yang puitis akan terdengar sangat romantis.
Begitu juga dengan kepedihan yang mendalam, ia bisa menjelma sebagai sebuah lelucon konyol yang bisa mengundang tawa hingga terpingkal-pingkal, hanya karena disampaikan dengan bahasa yang jenaka.
Itulah the power of words.
Kita bisa menggunakannya sebagai senjata yang mematikan, atau sebagai obat yang menyembuhkan.
Tergantung dari sudut pandang mana engkau menilai. Dari sisi mana engkau berpihak. Dari celah mana engkau mengambil peran.
Satu peristiwa yang sama bisa jadi akan terkesan berbeda ketika dituliskan oleh orang yang berbeda.
Karena setiap orang memiliki kecenderungan. Ada yang cenderung suka pada cerita tragedi, misalnya. Maka ia, akan menyajikan sebuah peristiwa dengan sangat dramatis, memilukan dan 'sad ending'.
Ada pula yang justru menyukai kisah yang imajinatif. Mungkin saja, ia akan bisa menyuguhkan peristiwa tersebut dengan lebih glamour, ceria dan penuh magis.
Bahkan, bahasa penuturan tulisan, bisa memberi kesan yang berkebalikan dari realita yang sebenarnya.
Semuanya bergantung pada keterampilan seorang penulis untuk meracik kata demi kata dengan balutan diksi yang variatif.
Mau kesan romantis? Bisa.
Mau kesan dramatis? Bisa.
Mau kesan Ironis? Bisa
Mau kesan Komedis, eh komedi? Tentu bisa.
Itulah sebabnya, tidak semua bahasa tulisan bisa kita nilai sekilas lalu. Kita harus menelaah lebih dalam apa makna sebenarnya yang terkandung dalam suatu tulisan.
Apalagi, jika itu sebuah berita, yang diklaim sebagai fakta. Kita perlu mencari rujukan lain untuk meyakini kebenarannya. Kita perlu kroscek berkali-kali untuk memastikan keakuratannya. Tidak asal percaya, apalagi sekedar ikut-ikutan membagikan, tanpa kita pahami betul-betul apa yang kita bagikan.
Itulah cikal bakal hoaks yang menjadi viral.
Terlalu banyak dari kita yang tidak peduli dengan kebenaran sebuah berita. Jika dianggap menarik, dan banyak yang membagikan, maka kita hanya latah untuk ikutan menjadi bagian dari mereka. Karena tak ingin dicap ketinggalan zaman, misalnya.
Nah, ketika hal itu terjadi, maka kita berada dalam situasi darurat literasi. Di mana, kita tidak mampu mengolah dan menerjemahkan setiap informasi yang kita terima sesuai dengan konteksnya.
Kita hanya sekadar bisa membaca, tetapi tidak bisa memahami apa yang kita baca.
Ketidakmampuan untuk menyampaikan dan menerjemahkan suatu bahasa tulisan dengan bijaksana inilah yang bisa memicu kondisi 'gagal paham'.
Maksud hati ingin 'berkata' begini, namun yang diterima oleh pembaca justru begitu. Akhirnya nggak nyambung, dan timbullah ketidaksinkronan antara penyampai dengan penerima informasi.
Maka, terkadang kita butuh berkali-kali membaca suatu pesan yang kita terima, ketika ada kalimat yang membuat alis saling bertaut. Alih-alih merespon dengan emosi, ada baiknya kita tabayun dulu.
Mungkin saja ada salah ketik. Mungkin saja ada ketidaksesuaian persepsi tentang kaidah penulisan yang bermartabat.
Dalam dunia tulisan, apapun bisa terjadi. Jika dalam dunia visual kita bisa melihat mimik dan gesture yang melengkapi suatu 'percakapan', maka dalam tulisan, kita hanya bisa menerawang, bagaimana perasaan sebenarnya dari si penulis.
Maka, dalam proses menuliskan suatu pesan, upayakanlah dengan menulis sesantun mungkin, dan menggunakan kaidah penulisan yang sesuai puebi, untuk meminimalisir kesalahpahaman.
Maka dari itu, mengenalkan dan mengajarkan literasi sejak dini menjadi kewajiban hakiki bagi para orang tua zaman now. Zaman di mana setiap informasi, bisa begitu mudah di akses dalam hitungan sepersekian detik.
Saat anak sudah terbiasa untuk memahami setiap tulisan yang ia baca dengan pemahaman yang benar, maka kelak ia bisa menyaring setiap informasi yang diterima dengan lebih bijaksana.
Ia tidak akan mudah terprovokasi, terintimidasi bahkan terdistorsi oleh sebuah tulisan yang terindikasi memuat pesan terselubung yang bisa memecah belah dan mengadu domba, atau bahkan terselipi paham-paham tertentu yang bertentangan dengan prinsip agama yang ia yakini.
Wallahualam bishawab.
#ODOPbersamaEstrilook
#Day11
Terimakasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. 🙏😊
Ahhhh.... Mengagumkan. Sampe lupa tadi mau bilang apa ya? Saking menikmatinya.
BalasHapusOh iya, baca tulisan Kak Lee, aku jadi ingat sama materi di salah satu seminar. Tentang posisi atau level baca masyarakat Indonesia.
Terimakasih sudah berbagi informasi menarik ini Kak. Dan aku suka gaya penuturannya. Minim typo pula. 😊😊😊
Masya Allah, terima kasih mba sudah mampir.
HapusAlhamdulillah ya, typo nya sudah mulai berkurang... 🙈
Masyaa Allah, serasa lagi ikut kelas urgensi literasi dalam memberantas hoaks iniii (?) Hehehe makasih atas ilmunya Mba Lee, selalu suka tulisannya. Hehehe
BalasHapusJazaakillahu khayr, Mba💐
Masya Allah, terima kasih mba Dyah... 🤗🥰
HapusTerima kasih kak. Tulisannya bagus. Aku suka pilihan katanya^^
BalasHapusMasya Allah, terima kasih, Mbak ... 🥰
HapusBetul sekali ini, mengajarkan anak membaca sedini mungkin, dan mari mengajarkan mereka agar tidak menjadi netijen yang nyinyir dalam menulis sebuah komentar
BalasHapus