Langsung ke konten utama

Kontemplasi Hati

Pict by pixabay

Dalam sekali sapuan pandang, kita akan memiliki banyak sisi untuk dilihat. 

Mungkin di sisi kiri atas, kita akan melihat hal yang membuat hati teriris. Geser sedikit ke kanan, akan ada hal lainnya yang membuat hati berbunga. Lebih ke kanan lagi, ada pemandangan yang membuat hati merasa nyaman. Semakin ke kanan tampak jalanan terjal berbatu, hingga semakin ke kanan, ada rumpun belukar yang tumbuh meninggi, dan seterusnya, dan seterusnya.

Ada banyak hal yang bisa kita lihat, tetapi kita selalu bisa memilih ke arah mana mata kita akan tertuju. 

Jadi, mungkin di satu sisi ada hal-hal buruk yang membuat hati merasa gemas, kecewa dan marah. Namun selalu ada sisi lain yang mungkin saja menawarkan kebahagiaan, kenyamanan dan rasa aman. 

Maka, fokuslah pada hal yang membuatmu semakin bersemangat. Bukan berarti kita menghindari masalah, namun jangan terlalu berpaku pada sisi yang buruk. Biarkan saja ia berjalan seperti seharusnya, tugas kita berikutnya hanyalah terus melangkah menuju perbaikan diri.

Keburukan yang terjadi, bukanlah hal yang harus kita keluhkan hingga berlarut-larut. Tetapi, akan lebih baik jika hal tersebut bisa kita jadikan sebagai sarana untuk semakin bertumbuh dan menghebat dalam jalan kebaikan. 

Setidaknya, kemalangan yang awalnya hanya sebatas 'nasib buruk', bisa bertransformasi menjadi "guru kehidupan" yang semakin mengokohkan eksistensi kita di jagad semesta raya ini. Bukan sekedar kokoh secara materil, namun juga secara spirituil; teguh dalam menjalankan takdir hidup sesuai kehendak-Nya.

Ya, selalu ada hal-hal baik dalam setiap jejak hidup yang kita tempuhi, bahkan jika itu adalah titik terendah dalam takdir kehidupan. 

Bukankah Tuhan sudah berfirman, bahwa dalam setiap kesempitan, selalu beriringan dengan kelapangan? Bahwa setiap ujian yang kita terima, selalu berbanding lurus dengan kapasitas dan kemampuan yang Dia titipkan pada kita?

Jadi, mengapa kita begitu mengkhawatirkan apa yang seharusnya bisa kita lewati dengan baik-baik saja?

Kita yakini, bahwa setiap diri memiliki potensi yang unik, yang hanya ada pada dirinya. Potensi unik tersebut, tentu saja bukan sekedar 'pemanis' hidup. 

Segala potensi yang tersemat pada diri, tentu saja sudah melalui tahap "seleksi" yang tepat.

Maka, seseorang yang memang sudah tertitipi potensi sebagai penulis, misalnya, jika ia bisa menyadari potensinya, kemudian mengakrabi dan terus berupaya memahami dan 'menguasai' dengan menambah jam terbang, kelak ia akan menjadi seorang penulis yang sukses. 

Kuncinya adalah komitmen dan konsisten.

Maka, tak perlu kita merasa iri dengan kesuksesan orang lain. Karena setiap orang memiliki kesuksesannya sendiri. 

Tentu dengan patameter yang berbeda ya. Maka tidaklah fair jika kita membandingkan kesuksesan kita dengan milik orang lain. Karena potensi yang kita punya, upaya yang kita lakukan dan jam terbang yang kita miliki, tentu berbeda dengan milik orang lain.

Daripada terus menggerutu dan menangisi takdir hidup yang terasa menyedihkan, bukankah lebih baik jika sisa waktu yang kita punya, kita manfaatkan untuk semakin 'menggodok' potensi yang kita punya agar bisa semakin meluaskan manfaatnya dan kelak menjadi wasilah kebaikan untuk menambah pundi-pundi pahala?

Karena kita selalu punya 'kuasa' untuk memilih, menatap apa yang paling mata kita butuhkan, merasa apa yang paling hati kita butuhkan, mendengar apa yang paling telinga kita butuhkan, bukan hanya sekedar memperturutkan keinginan semata, yang bisa jadi justru membuat kesyukuran kita semakin terdegradasi. 

Wallahu'alam bishawab 

#ODOPbersamaEstrilook
#Day15

Terimakasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. 🙏😊

Komentar

  1. Mantap. andai saja kita bisa konsisten menguasai keinginan mata, hati, atau telinga. mungkin hidup menjadi selalu penuh hikmah ya kak

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lintang, Sang Penghibur

Pixabay Hai namaku Lintang.  Ini kisahku dengan seseorang yang sangat aku sayangi... Orang-orang mengenalnya sebagai penemu alat pembunuh kanker yang kini sedang menjadi pembicaraan banyak kalangan. Katanya dia bergelar Profesor Doktor. Tapi ia memperkenalkan diri sebagai 'War' padaku saat kita pertama kali berbincang. Karena kupikir ia terlihat sangat dewasa, dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya, memberi kesan begitu 'pintar', maka kuputuskan untuk memanggilnya "Papi War". Namun, tahukah kalian, pertemuan pertama kali dengannya adalah ketika ia sedang menunggu bus di salah satu halte.  Ia terlihat basah kuyup. Memang hari itu hujan deras tengah mengguyur kota.  Aku terduduk lemas di sampingnya, menatap jalanan yang mulai tergenang air hujan. Sekilas ia menoleh padaku. Akupun menoleh padanya. Namun dia hanya diam saja. Akhirnya kuberanikan diri saja mengajak dia bicara terlebih dulu. Awalnya ia cuek ...

SETULUS CINTA DEWI

Courtesy: Google "Segumpal rasa itu kau sebut cinta Seperti pelangi selepas hujan Ada rindu disana Bersemayam dalam harapan Yang perlahan memudar Saat rasamu ternyata tak kunjung terbalas" Dewi Maharani. Kisah asmaranya seumpama puisi. Indah membuai namun hanya ilusi. Berbilang masa ia setia. Namun waktu tak jua berpihak padanya. Adakah bahagia tersisa untuknya? *** "Wi, kamu habis ketemu lagi sama si Wijaya?" Suara ibu menggetarkan udara, menyambut kedatangan anak perempuan satu-satunya itu. Dewi bergeming. Matanya lekat menatap semburat cahaya mentari yang memantul lembut dari sebalik jendela. "Wi, kenapa sih kamu terus memaksakan diri. Wijaya itu sudah beranak istri. Sudahlah, berhenti saja sampai disini. Sudah telalu banyak kamu berkorban untuknya," Wanita paruh baya itu menambahkan, kembali menasehati gadisnya untuk kesekian kali. Perlahan si gadis pemilik mata sayu menghela nafas, sejenak mengumpulkan kekuatan untuk membalas ucapan ibunda ...

Menggali Potensi Diri dengan Menulis Antologi

Pict: Pixabay Bismillahirrohmaanirrohiim... Tahun ini adalah tahunnya panen buku antologi. Huaaa... ini bahagianya campur-campur sih. Antara senang tapi gemes, soalnya perbukuan ini kok ya launchingnya hampir berbarengan... *kekepindompet Terlepas dari itu, ya pastinya saya sangat bersyukur dong, sekaligus bangga, ternyata saya bisa mengalahkan bisik ketakutan dalam diri yang merasa tak mampu, malas hingga cemas. Bisa nggak ya? Bagus nggak ya? Laku nggak ya? *ups Sebenarnya, dari awal, tujuan saya ikut berkontribusi dalam even nulis buku bareng ini, hanya karena ingin punya karya, yang kelak bisa juga membuat saya, setidaknya merasa bangga dan bersyukur pernah berkontribusi dalam membagikan kemanfaatan dari apa yang saya miliki.  Entah pengetahuan walau cuma seuprit, atau pengalaman yang baru seumur jagung, atau sekedar curahan hati yang bisa diambil hikmahnya oleh yang membaca. *semoga 🤲 Makanya, saat launching buku, saya tidak ngoyo ...