Langsung ke konten utama

Menjalin Kawan

 

Mereka menjauhiku. Apa karena penampilanku tidak seglamour teman-temannya yang lain? Atau uangku kurang banyak untuk dapat menyamai gaya hidup mereka?

Sebegitu kerdilkah sebuah nilai pertemanan di mata mereka? Memandang fisik dan materi sebagai ukuran utama. Mengkastakan manusia semena-mena. Yang rupawan berteman dengan yang menawan, yang beruang berkawan dengan hartawan. Tak ada ruang bagi si buruk rupa dan si melarat sepertiku?

Bukankah kawan sejati adalah mereka yang bisa menerimamu apa adanya. Berbagi dalam suka pun duka, menyemangati disaat terluka, menasehati tatkala terlupa, memeluk erat ketika ujian terasa berat. Bukan hanya mendekat disaat ada maunya saja, mengambil untung atas nama pertemanan, namun enggan menanggung derita demi sebuah jalinan kawan.

Aku kecewa? Mungkin saja. Wajar bukan pilu menyerta ketika apa yang kita harapkan tak mewujud nyata? Namun aku tak menyesalinya. Bagiku, seorang kawan sejati tak bersyarat. Jika di awal saja mereka menuntut kita untuk setara dengan kondisi dan gaya hidupnya, pertemanan apa sebenarnya yang mereka tawarkan? Palsu! Ya.

Maka dengan bangga aku akan bilang : "Hey kalian, bergembiralah dengan segala kepalsuan yang kalian anggap menyenangkan. Aku tidak sekalipun tertarik untuk turut serta. Aku sudah cukup bangga dan bahagia dengan diriku sendiri, apa adanya."

Kalian menjauhiku sebegitunya hanya karena aku tidak memenuhi kriteria sebagai teman yang setara? Cukup menyakitkan bukan, menerima kenyataan pahit yang sangat ironis ini?

Ah, tapi aku tidak peduli. Aku juga tidak ingin memiliki teman yang hanya menilai dari penampilan saja.

#kelasfiksiodopbatch6

Terimakasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. 🙏😊

Komentar

  1. Jangan menilai orang dari penampilan saja ya berarti

    BalasHapus
  2. Kadang memang ada org yg berfikiran picik dan cm mementingka diri sendiri

    BalasHapus
  3. Aku jg kadang berpikir kaya gitu, sekarang mah dibawa selow ae

    BalasHapus
  4. Dan kita perlu jadi diri kita sendiri...ini tantangan fantasi bukan mb?

    BalasHapus
  5. aku meninggalkan jejak di blog leeanel...

    BalasHapus
  6. menilai orang lain memang lebih mudah

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lintang, Sang Penghibur

Pixabay Hai namaku Lintang.  Ini kisahku dengan seseorang yang sangat aku sayangi... Orang-orang mengenalnya sebagai penemu alat pembunuh kanker yang kini sedang menjadi pembicaraan banyak kalangan. Katanya dia bergelar Profesor Doktor. Tapi ia memperkenalkan diri sebagai 'War' padaku saat kita pertama kali berbincang. Karena kupikir ia terlihat sangat dewasa, dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya, memberi kesan begitu 'pintar', maka kuputuskan untuk memanggilnya "Papi War". Namun, tahukah kalian, pertemuan pertama kali dengannya adalah ketika ia sedang menunggu bus di salah satu halte.  Ia terlihat basah kuyup. Memang hari itu hujan deras tengah mengguyur kota.  Aku terduduk lemas di sampingnya, menatap jalanan yang mulai tergenang air hujan. Sekilas ia menoleh padaku. Akupun menoleh padanya. Namun dia hanya diam saja. Akhirnya kuberanikan diri saja mengajak dia bicara terlebih dulu. Awalnya ia cuek ...

SETULUS CINTA DEWI

Courtesy: Google "Segumpal rasa itu kau sebut cinta Seperti pelangi selepas hujan Ada rindu disana Bersemayam dalam harapan Yang perlahan memudar Saat rasamu ternyata tak kunjung terbalas" Dewi Maharani. Kisah asmaranya seumpama puisi. Indah membuai namun hanya ilusi. Berbilang masa ia setia. Namun waktu tak jua berpihak padanya. Adakah bahagia tersisa untuknya? *** "Wi, kamu habis ketemu lagi sama si Wijaya?" Suara ibu menggetarkan udara, menyambut kedatangan anak perempuan satu-satunya itu. Dewi bergeming. Matanya lekat menatap semburat cahaya mentari yang memantul lembut dari sebalik jendela. "Wi, kenapa sih kamu terus memaksakan diri. Wijaya itu sudah beranak istri. Sudahlah, berhenti saja sampai disini. Sudah telalu banyak kamu berkorban untuknya," Wanita paruh baya itu menambahkan, kembali menasehati gadisnya untuk kesekian kali. Perlahan si gadis pemilik mata sayu menghela nafas, sejenak mengumpulkan kekuatan untuk membalas ucapan ibunda ...

Menggali Potensi Diri dengan Menulis Antologi

Pict: Pixabay Bismillahirrohmaanirrohiim... Tahun ini adalah tahunnya panen buku antologi. Huaaa... ini bahagianya campur-campur sih. Antara senang tapi gemes, soalnya perbukuan ini kok ya launchingnya hampir berbarengan... *kekepindompet Terlepas dari itu, ya pastinya saya sangat bersyukur dong, sekaligus bangga, ternyata saya bisa mengalahkan bisik ketakutan dalam diri yang merasa tak mampu, malas hingga cemas. Bisa nggak ya? Bagus nggak ya? Laku nggak ya? *ups Sebenarnya, dari awal, tujuan saya ikut berkontribusi dalam even nulis buku bareng ini, hanya karena ingin punya karya, yang kelak bisa juga membuat saya, setidaknya merasa bangga dan bersyukur pernah berkontribusi dalam membagikan kemanfaatan dari apa yang saya miliki.  Entah pengetahuan walau cuma seuprit, atau pengalaman yang baru seumur jagung, atau sekedar curahan hati yang bisa diambil hikmahnya oleh yang membaca. *semoga 🤲 Makanya, saat launching buku, saya tidak ngoyo ...