Langsung ke konten utama

Penantian Asyiqah


Pinterpandai.com

Sunyi melingkupi malam. Hanya nyanyian serangga malam sesekali memecah sepi.
Dewi Murtasimah yang lebih dikenal dengan Asyiqah, putri kedua dari istri kedua Sunan Ampel, menatap langit malam dalam diam.
Hatinya bergemuruh. Apakah gerangan yang membuatnya begitu tak karuan. Hasrat dan buncahan rasa menyatu dalam benaknya.
Inikah yang dinamakan cinta? Cinta pada pandangan pertama. Berawal dari tatap mata, getaran itu menjalar lembut menuju ruang hati, hingga akhirnya bersemayam dalam dada. Semakin hari semakin menggeliat. Menyisakan segumpal rindu.
Asyiqah tetap asik menatap gemintang di langit malam, sembari menenangkan hatinya yang terus berdentam menahan rindu.

Tepukan lembut di pundak memaksanya menoleh. Sesosok wanita cantik belia tampak tersenyum manis ke arahnya.
"Mbak yu..." ucapnya lirih.
"Sedang apa kau disini, Dik?" Wanita bermata bulat itu bertanya lembut pada Asyiqah, adik perempuannya.
"Sudah jangan melamun. Nanti ku bantu sampaikan keinginanmu pada Romo," lanjutnya mengulum senyum.
Asyiqah tersenyum malu, namun ia tak kuasa membantah. Hatinya sudah kadung terpaut. Dengan senang hati ia terima bantuan sang kakak.

Singkat cerita, Raden Dewi Murtasimah menikah dengan pria pujaan hatinya, Raden Patah.
Seorang pria tampan dan berbudi luhur. Ia berguru pada ayahnya, Sunan Ampel, sedari kecil, ketika masih tinggal di Palembang.
Setelah tumbuh remaja, Raden Patah kembali mendalami ajaran Islam, ia berguru kembali pada Sunan Ampel yang saat itu sudah memiliki padepokan/ pesantren di Surabaya.
Alasan lainnya ia pergi ke Surabaya adalah karena menolak untuk menggantikan ayah tirinya, Arya Damar, sebagai bupati Palembang.
Ia bersama adik titinya, Raden kusen, pergi ke Surabaya menwmui Sunan Ampel.


Setelah prosesi akad berlangsung khidmat, Raden Patah dan Asyiqah resmi sebagai pasangaan suami istri.
Namun malang tak bisa ditolak, Raden Patah mendapat amanat dari Sunan Ampel untuk syiar Islam. Ia diminta membuka hutan Glagah Wangi sebagai tempat pendirian pesantren pertamanya.
Karena mempertimbangkan keamanan dan kenyamanan, Raden Patah terpaksa menitipkan istrinya di rumah sang mertua. Ia dan beberapa santri melanjutkan misinya ke Glagah Wangi.

Asyiqah tak membantah, walau hatinya teramat berat memendam rindu pada kekasih hatinya yang baru saja ia nikahi, namun kini kembali harus berpisah.

"Adindaku, maapkan kanda, membuatmu merasa tak nyaman. Hal ini pun terasa berat bagi kanda, namun tugas tetap harus diselesaikan. Sebagai bentuk tanggung jawab kanda terhadap ilmu yang Allah titipkan melalui pengajaran ayahandamu. Perkenankanlah kanda pamit sebentar, untuk kemudian kita kembali bersatu ketika situasi sudah memungkinkan. Doakan kanda, agar semunya berjalan dengan baik. Agar kanda bisa segera menjemputmu, dan melabuhkanmu kembali dalam pelukanku," Raden Patah berucap lembut.
Asyiqah tergugu dalam pelukan Raden Patah. Tak satupun kata mampu terlontar dari mulutnya. Hanya anggukan kecil dan cengkraman tangannya yang semakin kuat memeluk tubuh kekar suaminya sebagai jawaban.

Sudah hampir dua purnama Asyiqah habiskan malam dalam penantian yang penuh rindu. Walau kini ia semakin tegar, menanti masa itu tiba. Masa dimana suaminya akan kembali dalam pelukannya. 
Desas desus tentang keberhasilan suaminya mulai terdengar di telinga. Kerinduannya tak lama lagi akan berganti temu.

"Kanda, rindu ini sangat memberatkan, namun cintamu membuatnya tetap bertahan dalam penantian. Aku akan bersabar, menanti waktu kita kembali dalam dekapan." Asyiqah berbisik puitis pada angin malam yang berhembus. Berharap angin membawanya pada suaminya, di suatu tempat, dimana ia kini berada.

Setelah sekian lama berharap dalam penantian, hari itupun tiba. Raden Patah memasuki area padepokan Sunan Ampel. Suara langkah gagah kudanya terdengar hingga ke ruangan Asyiqah.
Dadanya berdegup kencang. Ia merasa senang sekaligus gugup. Berkali ia menatap wajah dalam cermin. Menghias diri agar tampak memikat di mata suami tercinta.

Setelah merasa yakin dengan tampilannya, ia mantap melangkah keluar kamar. Samar terdengar obrolan serius Raden Patah dengan Sunan Ampel, ayahandanya.

"Begitulah, ayahanda guru. Beberapa hari yang lalu utusan Raja Brawijaya, yang diwakili oleh Adipati Husain, mengundang saya ke Istana."
"Temuliah." Mantap suara  Sunan Ampel memecah udara.
Raden Patah tampak ragu.
"Raja Brawijaya mungkin adalah Raja Majapahit yang disegani, namun bagaimanapun Ia tetaplah ayah kandungmu, Nak. Yakinlah, Ia tak akan menyakiti. Temuilah." Sunan Ampel kembali berucap mantap.
Raden Patah bergeming. Keraguan tak juga menguap dalam dadanya. Namun, demi mendengar ucapan Sunan Ampel yang terdengar begitu yakin, ia hanya bisa menganggukan kepala sebagai jawaban.

"Satu hal lagi ayahanda guru. Tentang Asyiqah..." ucapnya ragu.
Demi mendengar namanya disebut, Asyiqah semakin lekat menempelkan telinganya di dinding kayu

Terdengar dehaman kecil Sunan Ampel.
Sunan ampel menyadari keberadaan Asyiqah di balik dinding kayu.
Dengan suara lantang ia berkata.
"Pergilah, temui istrimu yang sudah tak sabar menunggu di balik dinding itu, sepertinya sudah sedari tadi ia menunggumu..." ucap Sunan Ampel sembari tersenyum menggoda.
Raden Patah ikut tersenyum menyadari kelakuan istrinya itu.
"Mohon pamit, ayahanda guru. Asslamualaikum," ucapnya, kemudian berlalu meninggalkan Sunan Ampel.
Asyiqah tersipu malu, ia segera berlari kembali ke kamar. Tak sanggup menampakkan wajahnya dalam kondisi memerah menahan malu.

Tak lama kemudian Raden Patah mengetuk pintu kamarnya.
"Tok tok tok..."
Asyiqah bergeming, salah tingkah.
"Dinda... bolehkah kanda masuuk..." Raden Patah berujar pelan.
Perlahan pintu terbuka. 
Asyikah tampak malu-malu di sebalik pintu. Wajahnya memerah, ia menunduk menatap lantai kayu.
Raden Patah mendorong pintu perlahan, Asyiqah mundur perlahan secara spontan.
Raden Patah menutup pintu. 
Di genggamnya tangan Asyiqah dengan lembut.
"Maap. Seperti yang sudah kamu dengar, aku..." 
Asyiqah menatap lembut suaminya. 
"Dinda akan sabar menunggu, kanda... Selesaikanlah apa yang sudah kanda mulai. Aku sabar menunggu..." ucapnya pelan menahan tangis yang siap memecah.
Di raihnya tubuh Asyiqah dalam pelukan. 
"Menangislah dinda, jika itu bisa meringankan bebanmu."
Asyiqah menangis semakin kencang. Kerinduan sebentar lagi akan kembali menemani malam-malamnya.
Raden Patah semakin erat mendekap Asyikah dalam pelukan. Raganya mungkin saja akan kembali meninggalkan istrinya disini, namun hatinya akan selalu terpaut padanya. Asyiqah, putranda dari gurunda Sunan Ampel yang kini telah menjadi istrinya, miliknya seutuhnya.
Perlahan Ia melapas dekapannya, ditatap penuh cinta bola mata Asyiqah, perlahan dikecupnya kening Asyiqah dengan lembut. Asyiqah memejam mata, merasakan sentuhan bibir suaminya dengan khidmat. Membiarkan waktu sejenak terhenti. Ia hanya ingin menikmati hangat tubuh suaminya lebih lama lagi, sebelum masa perpisahan kembali menjumpai.
(Bersambung)

#kelasfiksiodopbatch6
#Tantanganhystoricalfiction

Terimakasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. 🙏😊

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenalkan Literasi Sejak Dini Lewat Program 'Duta Baca Cilik'

Sejak tujuh hari yang lalu, saya telah mendaftarkan Abang dalam kegiatan literasi bertajuk 'Duta Baca Cilik' yang infonya saya dapatkan melalui sebuah postingan di Facebook.  Begitu membaca, saya langsung tertarik untuk ikut serta, walaupun saya belum yakin, apakah bisa konsisten mengikuti rule yang diberlakukan, karena kebetulan pada saat yang bersamaan, saya sedang memegang banyak amanah yang harus ditunaikan. Namun, demi menemukan kembali ritme kebersamaan bersama duo krucil, saya pun 'menerima' tantangan ini. Dan, sejak Senin lalu, resmilah kami sebagai bagian dari peserta 'Duta Baca Cilik'. Sebuah kegiatan literasi, dimana, kami, para peserta, diwajibkan untuk membaca atau membacakan buku setiap hari.  Sebuah gerakan, yang memiliki tujuan untuk saling mendukung dan memotivasi para Ibunda dalam mengenalkan literasi sejak dini dengan pembiasaan membaca / membacakan buku setiap hari kepada buah hatinya. Bagi saya, ini kesempatan em

Menggali Potensi Diri dengan Menulis Antologi

Pict: Pixabay Bismillahirrohmaanirrohiim... Tahun ini adalah tahunnya panen buku antologi. Huaaa... ini bahagianya campur-campur sih. Antara senang tapi gemes, soalnya perbukuan ini kok ya launchingnya hampir berbarengan... *kekepindompet Terlepas dari itu, ya pastinya saya sangat bersyukur dong, sekaligus bangga, ternyata saya bisa mengalahkan bisik ketakutan dalam diri yang merasa tak mampu, malas hingga cemas. Bisa nggak ya? Bagus nggak ya? Laku nggak ya? *ups Sebenarnya, dari awal, tujuan saya ikut berkontribusi dalam even nulis buku bareng ini, hanya karena ingin punya karya, yang kelak bisa juga membuat saya, setidaknya merasa bangga dan bersyukur pernah berkontribusi dalam membagikan kemanfaatan dari apa yang saya miliki.  Entah pengetahuan walau cuma seuprit, atau pengalaman yang baru seumur jagung, atau sekedar curahan hati yang bisa diambil hikmahnya oleh yang membaca. *semoga 🤲 Makanya, saat launching buku, saya tidak ngoyo untuk promosi. Atau mung

Resep Praktis Membuat Ebi Furai

Alhamdulillah , masa-masa krisis pada proses penyapihan telah usai. Setelah sekitar semingguan dibikin cemas, sedih sekaligus galau karena anak gadis kelihatan semakin layu setiap hari akibat sakit dalam masa penyapihan, kini ibu bisa bernapas lega. Setelah keluar dari badai kegalauan, akhirnya masa 'panen' pun tiba. Kini ibu bisa dengan tenang mengantar anak gadis tidur siang dan malam tanpa rengekan. Kalau sudah terlihat terkantuk-kantuk, cukup diboyong ke tempat tidur, dengan sedikit diayun-ayun dulu sebentar dalam gendongan, dan kemudian anak gadis pun segera terlelap dengan nyaman.  Masya Allah, tabarakallah. Nah, selepas masa 'mogok' makan berakhir, terbitlah masa mulai doyan makan.  Kebetulan duo krucil ini lagi gemar sekali makan udang balut tepung roti, alias ebi furai.  Jadi, ibu manfaatkan saja peluang ini sebelum mood makan mereka kembali surut. Paling tidak, seminggu tiga kali mungkin ya ibu bergulat dengan perudangan akhir-