Langsung ke konten utama

Engkaulah Bahagiaku

gambar: pixabay

"Ayah lembur lagi hari ini?" Riyanti bertanya untuk kesekian kalinya, sementara tangannya gesit mengoles mentega pada roti tawar.
Rudi, suaminya keluar dari kamar, menenteng tas kerjanya. Berjalan cepat menuju ruang makan.
"Iya bun. Kan sudah kujawab tadi," ucapnya datar.
"Ini kan hari merah yah, masa lembur juga," jawabnya jengkel.
"Kantor lagi sibuk bun, jelang akhir tahun."
"Kan ada karyawan lain yah, kenapa ayah musti ikut lembur?"
"Sudah jangan mikir macam-macam. Ayah berangkat dulu ya..." Dikecupnya puncak kepala Riyanti dengan lembut.
"Bunda mau di bawain apa nanti?" lanjutnya sembari menatap Riyanti dengan senyuman penuh makna.
Seketika wajah cemberut Riyanti berganti sumringah.
"Ayah pulang dengan selamat tanpa kurang sesuatu apapun sudah cukup kok yah." ucapnya kemudian.
"Haha..." Rudi tertawa.
"Ya sudah, nanti ayah bawain martabak manis kesukaan bunda saja ya..."
Riyanti tak dapat menutupi rasa senangnya. Dipeluknya sang suami. "Makasih ayah, ayah memang suami terbaik di dunia..." pujinya lebay.
"Haha.... Ya sudah, ayah pergi dulu. Jangan cemberut lagi ya, nanti cantiknya berkurang loh..." ledeknya.
"Ih ayah...." 
Rudi tersenyum melihat istrinya kembali ceria.
"Sudah sana gih berangkat, nanti terlambat loh..."
"Siap bos. Assalamualaikum," seru Rudi kemudian.
"Waalaikumsalam," jawab Riyanti dengan senyum termanis menghiasi wajahnya.

                                     ***
Begitulah, suasana pagi yang kerap terlihat dari dalam rumah mereka. Riyanti yang ekspresif dan Rudi yang bijak. 
Riyanti tak pernah menyesali, menjatuhkan pilihannya kepada Rudi, si pekerja keras yang penuh perhatian. Tak sekalipun ia merasa sendiri, bahkan disaat hatinya tercabik oleh nyinyiran tetangga yang begitu tajam. 

Saat tangisnya memecah, Rudi siap menyapukan air mata di wajahnya, saat hatinya merapuh, Rudi sigap menyediakan bahunya untuk bersandar, saat jiwanya lelah dalam asa yang tak kunjung menyapa, Rudi tak bosan memberinya petuah menenangkan, sekaligus menularkan semangatnya kepada Riyanti, untuk tegar dan pantang menyerah, sekaligus pasrah bukan marah apalagi menghujat pedas atas takdir hidup yang telah Allah karuniakan.

Sudah lima tahun berjalan, pernikahan Riyanti dan Rudi tetaplah harmonis, bahkan semakin lengket bagai perangko. Mereka bahagia, walau masih tetap berdua saja. Tak ada tangisan bayi ataupun gelak tawa balita. Mereka menerima dengan legowo. 
Walau seringkali celoteh tetangga begitu tajam menghujam, dengan kata tak tertata, membelit dan menyiksa. 

Riyanti yang perasa tak jarang berputus asa, bergelimang air mata penuh nelangsa, namun dengan Rudi di sisinya, semakin hari ia semakin perkasa, segala luka tak lagi dirasa, karena bagi Riyanti, selama Rudi setia disisi, ia akan baik-baik saja.

Syukurlah, lelakinya itu tetap setia, walau belum juga dikaruniai putra. Bagi Riyanti, Rudi adalah segalanya, yang harus dijaga, dan sesekali dimanja, sebagai ungkapan cinta, yang tak akan pernah ia sia-sia.


#Tantangan2
#domesticdrama

Terimakasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. 🙏😊

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenalkan Literasi Sejak Dini Lewat Program 'Duta Baca Cilik'

Sejak tujuh hari yang lalu, saya telah mendaftarkan Abang dalam kegiatan literasi bertajuk 'Duta Baca Cilik' yang infonya saya dapatkan melalui sebuah postingan di Facebook.  Begitu membaca, saya langsung tertarik untuk ikut serta, walaupun saya belum yakin, apakah bisa konsisten mengikuti rule yang diberlakukan, karena kebetulan pada saat yang bersamaan, saya sedang memegang banyak amanah yang harus ditunaikan. Namun, demi menemukan kembali ritme kebersamaan bersama duo krucil, saya pun 'menerima' tantangan ini. Dan, sejak Senin lalu, resmilah kami sebagai bagian dari peserta 'Duta Baca Cilik'. Sebuah kegiatan literasi, dimana, kami, para peserta, diwajibkan untuk membaca atau membacakan buku setiap hari.  Sebuah gerakan, yang memiliki tujuan untuk saling mendukung dan memotivasi para Ibunda dalam mengenalkan literasi sejak dini dengan pembiasaan membaca / membacakan buku setiap hari kepada buah hatinya. Bagi saya, ini kesempatan em

Menggali Potensi Diri dengan Menulis Antologi

Pict: Pixabay Bismillahirrohmaanirrohiim... Tahun ini adalah tahunnya panen buku antologi. Huaaa... ini bahagianya campur-campur sih. Antara senang tapi gemes, soalnya perbukuan ini kok ya launchingnya hampir berbarengan... *kekepindompet Terlepas dari itu, ya pastinya saya sangat bersyukur dong, sekaligus bangga, ternyata saya bisa mengalahkan bisik ketakutan dalam diri yang merasa tak mampu, malas hingga cemas. Bisa nggak ya? Bagus nggak ya? Laku nggak ya? *ups Sebenarnya, dari awal, tujuan saya ikut berkontribusi dalam even nulis buku bareng ini, hanya karena ingin punya karya, yang kelak bisa juga membuat saya, setidaknya merasa bangga dan bersyukur pernah berkontribusi dalam membagikan kemanfaatan dari apa yang saya miliki.  Entah pengetahuan walau cuma seuprit, atau pengalaman yang baru seumur jagung, atau sekedar curahan hati yang bisa diambil hikmahnya oleh yang membaca. *semoga 🤲 Makanya, saat launching buku, saya tidak ngoyo untuk promosi. Atau mung

Lintang, Sang Penghibur

Pixabay Hai namaku Lintang.  Ini kisahku dengan seseorang yang sangat aku sayangi... Orang-orang mengenalnya sebagai penemu alat pembunuh kanker yang kini sedang menjadi pembicaraan banyak kalangan. Katanya dia bergelar Profesor Doktor. Tapi ia memperkenalkan diri sebagai 'War' padaku saat kita pertama kali berbincang. Karena kupikir ia terlihat sangat dewasa, dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya, memberi kesan begitu 'pintar', maka kuputuskan untuk memanggilnya "Papi War". Namun, tahukah kalian, pertemuan pertama kali dengannya adalah ketika ia sedang menunggu bus di salah satu halte.  Ia terlihat basah kuyup. Memang hari itu hujan deras tengah mengguyur kota.  Aku terduduk lemas di sampingnya, menatap jalanan yang mulai tergenang air hujan. Sekilas ia menoleh padaku. Akupun menoleh padanya. Namun dia hanya diam saja. Akhirnya kuberanikan diri saja mengajak dia bicara terlebih dulu. Awalnya ia cuek saja. Ta