Langsung ke konten utama

Kamukah Stasiun Pemberhentian Terakhirku?


"Ri, kamu dimana?" Sebaris kalimat tampak pada layar gawai. Sundari, wanita muda 20-an berambut lurus sebahu dengan bentuk wajah oval, yang sedari tadi menggenggam erat smartphone-nya segera mengetikkan sesuatu sebagai jawaban.

Hening. Tidak secara harfiah tentu saja. Karena ia sedang berada di salah satu pusat keramaian: stasiun kereta api. Dimana segala aktivitas seolah tak pernah mati: lalu lalang calon penumpang yang akan naik kereta, penumpang yang saling berebut naik atau turun kereta, para petugas stasiun, penjaja makanan, hingga pengamen. Mereka semua yang tak henti bergerak, berceloteh, bersenandung, mengomel hingga mendengkur. Semua menyatu dalam satu atmosfer. Namun jiwanya terasa hampa. Seolah segala getar udara tercerabut ke dalam kelengangan yang janggal.

"Pfuuuh...." Sundari menghela nafas panjang, berharap segala beban yang mengganjal di hati meluruh bersama udara yang ia lepaskan.

Perlahan ia sandarkan tubuh pada kursi besi ruang tunggu, yang keras dan dingin, seperti dirinya. Si keras kepala dan tak peka. Begitu, Raka, lelaki jangkung berhidung bangir, yang telah dua tahun menemani hari-harinya, selalu berujar tiap kali mereka berselisih paham. Pertengkaran yang tak pernah absen di setiap kali kebersamaan mereka. Walau pada akhirnya, ia selalu mengalah.

Bukan karena ia tak mampu mendebat berbagai argumen tajam yang Raka lontarkan, namun ia hanya merasa tak berdaya, melihat sorot mata lelaki berparas tampan yang selalu sendu itu, seolah menghipnotisnya untuk selalu menyerah. Memberikan segala rasanya padanya. Ya, Raka si tukang ngatur, namun selalu penuh perhatian.

Ah, Sundari bimbang. Bertahan dengan apa yang selama ini ia lakukan agar jalinan kasih dengan pria penyuka puisi itu tetap baik-baik saja namun hatinya tertekan, atau berbalik, melangkah menuju mimpinya yang sekian lama terkubur, hingga ia terbebas dari dinding aturan tak kasat mata yang Raka bangun atas nama cinta.

Sundari lelah. Sungguh. Berkali ia mencari cara untuk sementara berpisah. Agar Raka tak lagi menyandera mimpinya. Namun Raka tak jua menyerah, mencoba berulang kali membenahi hubungan mereka, yang nyatanya hingga kini tak sedikitpun berubah. Ia tetaplah Sundari yang egois, dan Raka masih tetap Raka yang dahulu. Terlalu banyak mengatur.

"Jess jess... Tuut... Tuut... Ciiiit...." Decit gesekan roda kereta api dan rel membangunkannya dari lamunan. Ia bangkit, menatap lamat kereta api yang perlahan menepi. Bukan. Itu bukan kereta api tujuannya.

Sundari kembali duduk. Lunglai. Ia tak kuasa lagi menahan rasa. Tatapannya mulai mengabut, derai air mata perlahan membasahi pipi. Samar isak tangis terdengar, berkelindan bersama seru celoteh calon penumpang lainnya, yang terlihat sibuk, hilir mudik, menatap arloji di pergelangan tangan, berbicara panik pada layar gadget, hingga mereka yang pasrah menunggu dalam diam, dalam lelap yang perlahan merayap.

Namun, tak ada satupun dari mereka yang benar-benar mampu mengusir pilu yang tiba-tiba menyeruak dan meluluh lantahkan dinding ketegaran yang sudah susah payah Sundari bangun.

"Ding ding...." Sebuah pesan masuk.
Sundari bergeming. Tangannya semakin erat mengenggam gawai. Perlahan ia mengatur kembali emosinya. Ia tak boleh menyerah. Sudah sejauh ini. Mungkin hanya tinggal selangkah lagi mimpinya akan mewujud.

Ia tatap lama gawai di tangan, sebelum kemudian jarinya lincah menari di layar itu. Senyumnya perlahan mengembang.

Sundari memasukkan gawainya ke dalam tas setelah mengetikkan balasan panjang.  
Kereta api tujuan Malang, tempat yang ingin ia tuju melintas dan berhenti tepat di depannya.
Sundari bangkit berdiri, mengangkat keril besar yang sedari tadi teronggok di sampingnya.
Sundari melangkah mantap dengan keril besar di punggung.

"Bismillah, Semeru, I'm coming...." pekiknya membuncah.

***
Seseorang di seberang sana dengan penuh cemas membuka pesan yang baru saja masuk ke gawainya.

"Maaf Raka, kali ini aku tak akan terkecoh. Biarkan aku melangkah menuju mimpiku, walau rasanya sangat aneh tanpa kamu di sampingku, yang selalu ribut ini itu, mengingatkan, memberi perhatian, sekaligus memerintah. Aku lelah. Kali ini, biarkan aku mengatur diriku sendiri. Bukankah aku sudah cukup dewasa memutuskan apapun tentang hidupku?"

Sejenak amarah menguasai hatinya. Bukan pada Sundari. Lebih pada dirinya sendiri. Ia kesal karena tak mampu membahagiakan Sundari seperti janji yang ia ucap  dua tahun lalu. Nyatanya, ia hanya membuat Sundari merasa terkekang dan terluka. Ia terpekur dalam perenungan.
Ya, Sundarinya berhak menjemput mimpi, walau sejujurnya hal itu membuatnya selalu cemas.

Mungkin sudah saatnya ia melepas Sundari, bukan, bukan meninggalkan, hanya memberinya ruang lebih luas untuk menikmati 'kebebasan' yang selalu ia rengekkan.
Nyalinya terlalu ciut menghadapi hari-harinya tanpa Sundari. Ya, begitu besar rasa itu bercokol di hatinya. Rasa sayang atau cinta? Entahlah.
Sejujurnya, ia selalu ragu, apakah Sundari memiliki rasa yang sama kuat, ataukah hanya ia sendiri yang bergelung dalam perasaan terlalu dalam?

Ah, sudahlah. Satu hal yang selalu ia jaga agar tetap dalam alur yang benar. Perasaan ingin melindungi. Ya, baginya Sundari adalah segalanya. Apapun yang membuatnya bahagia, Raka akan berusaha mengupayakan, walaupun sejauh ini usahanya belum memberikan kesan yang baik di mata Sundari. Tapi ia yakin, atau tepatnya berusaha meyakinkan dirinya, bahwa ia dan Sundari memang ditakdirkan bersama, melengkapi satu sama lain untuk saling menyempurnakan.

"Stay save, Ri. I'll be waiting for you, forever. I'll try to loving you, just the way you are...." Raka menatap sendu layar gawai. Jarinya lembut menyentuh sosok Sundari yang tengah menatapnya dengan senyuman lesung pipit yang manis.

#Tantangan1

Terimakasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. πŸ™πŸ˜Š

Komentar

  1. Waa diksi-diksinya cakeepp 😍. Btw mimpi si Sundari ini dia ingin mendaki Semeru gitu ya maksudnya? Tapi awalnya dilarang sama si Raka? Gitu ya?

    BalasHapus
  2. Penasaran sama mimpinya Sundari. Ke puncak Semeru-kah?

    BalasHapus
  3. Harus buka kamus nih, ada English nya. Hmhmm. Salam kenal ya Mbak

    BalasHapus
  4. Ah ini nostalgia stasiun masa lalu nih...sukaaa...dulu stasiun pake pedagang2 asongan dll. Ini sweet sweet gimanaaaa gitu ya. Salam kenal mbak

    BalasHapus
  5. keren tulisanya..tapi sekarang tak kutemukan pengamen dan pedagang asongan..rindu suasana itu

    BalasHapus
  6. aku tinggalkan jejakku di blog ini

    BalasHapus
  7. Ku ikut Sundari ah ke SemeruπŸ˜‚πŸ˜‚

    BalasHapus
  8. Sundari, nama tokoh yang juga sering saya pakai dalam cerpen-cerpen saya. hehehe ...
    Suka karakternya.

    follback my blog:
    https://dloverheruwidayanto.blogspot.co.id

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenalkan Literasi Sejak Dini Lewat Program 'Duta Baca Cilik'

Sejak tujuh hari yang lalu, saya telah mendaftarkan Abang dalam kegiatan literasi bertajuk 'Duta Baca Cilik' yang infonya saya dapatkan melalui sebuah postingan di Facebook.  Begitu membaca, saya langsung tertarik untuk ikut serta, walaupun saya belum yakin, apakah bisa konsisten mengikuti rule yang diberlakukan, karena kebetulan pada saat yang bersamaan, saya sedang memegang banyak amanah yang harus ditunaikan. Namun, demi menemukan kembali ritme kebersamaan bersama duo krucil, saya pun 'menerima' tantangan ini. Dan, sejak Senin lalu, resmilah kami sebagai bagian dari peserta 'Duta Baca Cilik'. Sebuah kegiatan literasi, dimana, kami, para peserta, diwajibkan untuk membaca atau membacakan buku setiap hari.  Sebuah gerakan, yang memiliki tujuan untuk saling mendukung dan memotivasi para Ibunda dalam mengenalkan literasi sejak dini dengan pembiasaan membaca / membacakan buku setiap hari kepada buah hatinya. Bagi saya, ini kesempatan em

Menggali Potensi Diri dengan Menulis Antologi

Pict: Pixabay Bismillahirrohmaanirrohiim... Tahun ini adalah tahunnya panen buku antologi. Huaaa... ini bahagianya campur-campur sih. Antara senang tapi gemes, soalnya perbukuan ini kok ya launchingnya hampir berbarengan... *kekepindompet Terlepas dari itu, ya pastinya saya sangat bersyukur dong, sekaligus bangga, ternyata saya bisa mengalahkan bisik ketakutan dalam diri yang merasa tak mampu, malas hingga cemas. Bisa nggak ya? Bagus nggak ya? Laku nggak ya? *ups Sebenarnya, dari awal, tujuan saya ikut berkontribusi dalam even nulis buku bareng ini, hanya karena ingin punya karya, yang kelak bisa juga membuat saya, setidaknya merasa bangga dan bersyukur pernah berkontribusi dalam membagikan kemanfaatan dari apa yang saya miliki.  Entah pengetahuan walau cuma seuprit, atau pengalaman yang baru seumur jagung, atau sekedar curahan hati yang bisa diambil hikmahnya oleh yang membaca. *semoga 🀲 Makanya, saat launching buku, saya tidak ngoyo untuk promosi. Atau mung

Lintang, Sang Penghibur

Pixabay Hai namaku Lintang.  Ini kisahku dengan seseorang yang sangat aku sayangi... Orang-orang mengenalnya sebagai penemu alat pembunuh kanker yang kini sedang menjadi pembicaraan banyak kalangan. Katanya dia bergelar Profesor Doktor. Tapi ia memperkenalkan diri sebagai 'War' padaku saat kita pertama kali berbincang. Karena kupikir ia terlihat sangat dewasa, dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya, memberi kesan begitu 'pintar', maka kuputuskan untuk memanggilnya "Papi War". Namun, tahukah kalian, pertemuan pertama kali dengannya adalah ketika ia sedang menunggu bus di salah satu halte.  Ia terlihat basah kuyup. Memang hari itu hujan deras tengah mengguyur kota.  Aku terduduk lemas di sampingnya, menatap jalanan yang mulai tergenang air hujan. Sekilas ia menoleh padaku. Akupun menoleh padanya. Namun dia hanya diam saja. Akhirnya kuberanikan diri saja mengajak dia bicara terlebih dulu. Awalnya ia cuek saja. Ta