Langsung ke konten utama

Tiga sekawan: Misi Penyelamatan Bumi

Pixabay

Langit tampak suram. Tak ada awan berarak. Hanya gelap. Windi mendengus sebal. Tatapannya tak beranjak dari gulungan kabut hitam yang menjarak, membuat pandangannya hanya selebar bentangan tangan. Selebihnya gelap.

Gadis bermata bulat itu menerawang dalam kenangan yang kembali berloncatan dalam ingatan. Hatinya sedih sekaligus marah atas semua kejahatan yang menimpa kotanya. 

"Pfuuuh..." hembusan keras nafasnya seketika mengembalikan kesadaran. 
Dilihatnya pergelangan tangan, seketika layar putih muncul begitu saja. Disentuhnya layar sembarang, tiba-tiba layar berganti warna hitam dengan berbagai simbol berderet membentuk lingkaran. Disentuhnya simbol bergambar jam. 

Tampak angka digital 10.00, menandakan waktu telah berdetak begitu lesat sejak ia menunggu disini. Satu jam. Dan situasi ini membuatnya semakin kesal. 

Menunggu dan sendirian. Sungguh situasi yang sangat menjengkelkan. Terlebih di tempat ia kini berdiri, situasi sangatlah tidak menyenangkan. Sunyi dan mencekam. 
Ya, kotanya kini sudah mati, tak ada lagi tawa renyah kawan-kawannya ketika bermain bersama. Tak ada hangatnya mentari menerpa kulit sawo matangnya. Tak ada hembus angin sepoi membelai lembut rambutnya yang tergerai hingga bahu. 
Semuanya musnah. Begitu saja. Seketika.

Semua ini karena monster polusi yang menyerang kota dengan wabah beracun. Tak kasat mata, namun efeknya amatlah dahsyat. Perlahan kotanya diliputi awan gelap menggumpal, hingga membumbung tinggi di langit sebelum akhirnya meledak, menimbulkan suara berdebam yang sangat kencang, dengan kekuatan letusan yang mengguncangkan. Meninggalkan debu hitam berhamburan di udara, memenuhi segala penjuru hingga langit tertinggi. Seluruh warga kota mengungsi, namun hari demi hari jangkauan debu semakin meluas, hingga menutupi seisi bumi. 

Tak sedikit warga bumi akhirnya meninggal karena terlalu banyak menghirup udara kotor, kehabisan oksigen. Jantung tak lagi sanggup memompa darah. Sesak dan lemas adalah gejala umum yang dialami. Hingga akhirnya detak jantung seketika terhenti, seolah udara dalam paru tersedot begitu saja, tak ada lagi denyut nadi dan hela nafas memburu. Sungguh mengerikan, bukan?

Dan disinilah ia kini, menunggu kedua temannya, Sansan dan Raini, untuk melaksanakan sebuah misi besar: menyelamatkan bumi.

Tiga bulan sebelumnya
(Pov windi)

"Apa profesor yakin kami mampu menjalankan misi ini?" Sansan bertanya dengan ragu. 
Profesor Brian yang tengah berdiri tiga langkah dari tempat kami, berjalan mendekat. Menyentuh lembut pundak Sansan. Menepuknya tiga kali dengan hangat. Tanpa suara. Kemudian ia kembali duduk di kursi kerjanya, menyentuhkan jemari pada layar hologram yang muncul tiba-tiba saat jarinya perlahan mengetuk udara.

"Lihatlah. Bumi kita sedang sakit. Tidakkah kalian tergerak untuk menyelamatkannya?"
"Bukan begitu, Prof. Aku hanya tak yakin dengan kemampuan.... kami. Kami hanya tiga orang anak ingusan yang tak tahu apapun. Bisakah kami melawan dahsyatnya kekuatan monster polusi yang sangat besar?" Sansan menjawab dengan suara melemah. Berharap Profesor tak marah, karena ia meragu dan sangat berpotensi mengacaukan rencana.

Profesor tersenyum penuh arti.
"Aku sudah memikirkan semuanya. Kalian tenang saja. Yang kuperlukan dari kalian bertiga bukan sekedar kekuatan, secara fisik. Yang terpenting adalah kemauan, tekad dan kepedulian. Itulah yang akan mengantarkan kalian pada kemenangan. Percayalah!" Profesor berkata  tegas. Kata-katanya begitu mantap dan meyakinkan.

Seketika keberanian dan tekad memenuhi ruang hati kami, tiga sekawan. Sansan si pemberani yang hangat, sang ketua, satu-satunya pria di genk kami.  Aku, Windi, si periang yang lincah, dan Raini si kalem yang menyejukkan.

Dua  bulan sebelumnya

Profesor kembali mengundang tiga sekawan ke laboratorium miliknya. 
Mereka berdiri menunggu dalam diam, hanya kerling mata saling berbicara, menyiratkan ekspresi serupa, penasaran, bertanya-tanya, sekaligus menduga-duga, ketika profesor tiba-tiba meninggalkan ketiganya di aula, sementara ia melenggang menuju ruangannya di ujung lorong sebelah kanan.

Tak lama, profesor kembali, membawa kotak hologram seukuran buku. 
Ia duduk di kursi tak kasat mata, meletakkan kotak hologram pada meja yang tak terlihat. Kotak hologram terlihat seperti melayang di udara.

"Ambillah," perintah profesor.
Sansan mendekat dengan sedikit ragu, disentuhnya kotak hologram perlahan, memastikan ia benar-benar bisa menyentuhnya.

Sansan berjalan menuju kedua kawannya yang masih terpaku dan takjub dengan apa yang barusan mereka saksikan, kotak hologram melayang di kedua telapak tangan Sansan. Mengikuti setiap gerakan tangan Sansan, seolah benda itu benar-benar berada tepat di atas telapak  tangannya.

"Bukalah!" Seru profesor lantang.
Mereka segera membuka kotak dengan antusias. Tampak tiga titik bercahaya seumpama kunang kunang melayang di dalam kotak itu. 

"Apa ini, prof?" Windy bertanya penasaran.
"Senjata". 
Ketiga sekawan saling menatap heran. Bingung lebih tepatnya.
"Cahaya kecil ini?" tanya Sansan memastikan.
"Ya. Dan itu bukan sembarang cahaya kecil, anak muda," jawab profesor sedikit tersinggung dengan nada Sansan yang meragukan karya besarnya.

Raini menyadari perubahan kecil pada ekspresi  wajah Profesor Brian, ketika menjawab pertanyaan Sansan.
"Maaf Prof, bisa tolong dijelaskan, senjata macam apakah titik cahaya ini?" lanjutnya bertanya dengan nada lebih santun.

"Tangkaplah cahaya itu, dan letakkan pada pergelangan tangan. Lihat saja, kalian pasti akan senang memilikinya," ujarnya penuh semangat.

Tiga sekawan saling pandang. Sansan menganggukan kepala, memberi kode pada kedua kawannya, agar mereka percaya saja, dan mengikuti semua instruksi profesor Brian.

Seketika cahaya kecil terserap ke dalam kulit, saat di letakkan di atas pergelangan tangan. Sensasi dingin yang perlahan menghangat menjalari tangan hingga seluruh tubuh. Seketika ketiga sekawan merasakan aura panas membakar sekujur tubuh yang menghilang dalam hitungan jari.

"Wow, luar biasa. Apakah titik cahaya itu membuat kami semakin kuat?" tanya Windi penuh antusias.
"Ya. Tentu saja. Kalian kuat dan steril, kalian tak akan terdeteksi oleh sensor keamanan yang telah mereka terapkan. Kalian bisa memasuki negeri para monster polusi dengan aman, dan segera kembali ke bumi membawa penawar wabah beracun yang kita butuhkan. Mari kita selamatkan bumi kita!" ucap Profesor Brian penuh optimis.
"Ya!" tiga sekawan serempak menjawab.

Satu hari sebelumnya

Setelah hampir dua bulan semenjak titik cahaya menyatu dalam tubuh mereka, tiga sekawan terus berlatih sepanjang hari, tanpa henti, mempelajari semua teknologi dalam aplikasi hologram buatan profesor Brian dengan sangat gigih.
Hingga akhirnya mereka mampu menggunakan aplikasi itu dengan baik.

Dan sekarang, tiba waktunya mereka menjalankan misi penyelamatan bumi. 
Mendapatkan penawar dari wabah beracun yang telah memporak porandakan bumi. 
Akankah bumi kembali penuh warna dan menyenagkan seperti dulu setelah penawar mereka dapatkan? Sejujurnya, mereka tak sepenuhnya yakin. Namun, sedikit pemulihan pun akan mereka perjuangkan demi keselamatan bumi. Tekad dan semangat membara telah merasuki jiwa tiga sekawan. 
"Wahai monster polusi, kami datang. Tunggulah sampai bumi kami kembali hidup, setelahnya giliranmu mendapatkan balasan dari kami."

Hari keberangkatan

Windi kembali menatap layar di pergelangan tangannya.
Sudah waktunya, tapi Sansan dan Raini tak kunjung datang. Windi cemas sekaligus sebal.

Tiba-tiba ia melihat semburat cahaya perlahan mendekat. Bibirnya terangkat membentuk garis lengkung. 

Windi terpana menatap kendaraan super aneh yang.di naiki Sansan dan Raini. 
"Apa ini?"
"Karya profesor. Mobil terbang. Keren kan?"
"Luar biasa. Mobil terbang hologram. Kau mendapatkannya dari profesor?"
"Yap. Dan kabar baiknya, kamu juga bisa memiliki kendaraan super canggih seperti milikku. Uhm, tidak tidak, mungkin sedikit berbeda. Perpaduan antara mobilku dan sayap terbangnya Raini, mungkin."
"Raini juga? Kau dapat juga?!? Bagaimana bisa. Aku?"
Sansan dan Raini tertawa melihat ekspresi Windi yang terlihat lucu.
"Punyamu mungkin lebih istimewa. Ayolah kita ke laboratorium dulu. Biar Profesor yang menjelaskan."

Setibanya di laboratorium profesor Brian, ketiga sekawan keluar dari mobil, seketika mobil menghilang, seolah tersedot ke dalam pergelangan tangan Sansan.
Windi terperangah, tidak percaya.
Tiba-tiba profesor Brian berada di antara mereka. Ia menepuk halus pundak windi, telunjuknya terangkat ke satu arah.
"Itu milikmu, nak" ucapnya mantap dengan tawa lebar.
Windi melonjak girang, "benarkah? Itu... Milikku?"
"Ya, kau yang tecepat, kau berhak mendapatkannya."
"Terimakasih prof!" ucapnya bersemangat sembari menggenggam dan mengguncang tangan profesor dengan keras.
Windi berlari menuju kejutannya, sebuah Roket hologram super besar. Sungguh gagah. 
Ia berlonjak gembira.
"Woooow! Luar biasa. Kawan-kawan, ayo kita berangkat!" serunya bersemangat.
Sansan dan Raini mendekat, mereka saling berpelukan. Saling menguatkan dan membagikan energi positif.
"Bumiku... Tunggulah, kami pasti akan menyelamatkanmu." 

 
#Tantangan2
#kelasfiksiodopbatch6
#fantasy

Terimakasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. 🙏😊

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenalkan Literasi Sejak Dini Lewat Program 'Duta Baca Cilik'

Sejak tujuh hari yang lalu, saya telah mendaftarkan Abang dalam kegiatan literasi bertajuk 'Duta Baca Cilik' yang infonya saya dapatkan melalui sebuah postingan di Facebook.  Begitu membaca, saya langsung tertarik untuk ikut serta, walaupun saya belum yakin, apakah bisa konsisten mengikuti rule yang diberlakukan, karena kebetulan pada saat yang bersamaan, saya sedang memegang banyak amanah yang harus ditunaikan. Namun, demi menemukan kembali ritme kebersamaan bersama duo krucil, saya pun 'menerima' tantangan ini. Dan, sejak Senin lalu, resmilah kami sebagai bagian dari peserta 'Duta Baca Cilik'. Sebuah kegiatan literasi, dimana, kami, para peserta, diwajibkan untuk membaca atau membacakan buku setiap hari.  Sebuah gerakan, yang memiliki tujuan untuk saling mendukung dan memotivasi para Ibunda dalam mengenalkan literasi sejak dini dengan pembiasaan membaca / membacakan buku setiap hari kepada buah hatinya. Bagi saya, ini kesempatan em

Menggali Potensi Diri dengan Menulis Antologi

Pict: Pixabay Bismillahirrohmaanirrohiim... Tahun ini adalah tahunnya panen buku antologi. Huaaa... ini bahagianya campur-campur sih. Antara senang tapi gemes, soalnya perbukuan ini kok ya launchingnya hampir berbarengan... *kekepindompet Terlepas dari itu, ya pastinya saya sangat bersyukur dong, sekaligus bangga, ternyata saya bisa mengalahkan bisik ketakutan dalam diri yang merasa tak mampu, malas hingga cemas. Bisa nggak ya? Bagus nggak ya? Laku nggak ya? *ups Sebenarnya, dari awal, tujuan saya ikut berkontribusi dalam even nulis buku bareng ini, hanya karena ingin punya karya, yang kelak bisa juga membuat saya, setidaknya merasa bangga dan bersyukur pernah berkontribusi dalam membagikan kemanfaatan dari apa yang saya miliki.  Entah pengetahuan walau cuma seuprit, atau pengalaman yang baru seumur jagung, atau sekedar curahan hati yang bisa diambil hikmahnya oleh yang membaca. *semoga 🤲 Makanya, saat launching buku, saya tidak ngoyo untuk promosi. Atau mung

Lintang, Sang Penghibur

Pixabay Hai namaku Lintang.  Ini kisahku dengan seseorang yang sangat aku sayangi... Orang-orang mengenalnya sebagai penemu alat pembunuh kanker yang kini sedang menjadi pembicaraan banyak kalangan. Katanya dia bergelar Profesor Doktor. Tapi ia memperkenalkan diri sebagai 'War' padaku saat kita pertama kali berbincang. Karena kupikir ia terlihat sangat dewasa, dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya, memberi kesan begitu 'pintar', maka kuputuskan untuk memanggilnya "Papi War". Namun, tahukah kalian, pertemuan pertama kali dengannya adalah ketika ia sedang menunggu bus di salah satu halte.  Ia terlihat basah kuyup. Memang hari itu hujan deras tengah mengguyur kota.  Aku terduduk lemas di sampingnya, menatap jalanan yang mulai tergenang air hujan. Sekilas ia menoleh padaku. Akupun menoleh padanya. Namun dia hanya diam saja. Akhirnya kuberanikan diri saja mengajak dia bicara terlebih dulu. Awalnya ia cuek saja. Ta