Pixabay |
Deras hujan kembali mengguyur kota kami. Gelegar guntur bersahutan, menyuarakan ketakutan tak berkesudahan.
Aku bergumul dalam selimut, menutupi seluruh tubuh hingga tak nampak walau sehelai rambutpun. Dalam gelap, lantun doa berderai tanpa jeda. Hembus napasku memburu. Rasa sesak kembali mengahantui.
"Tuhan, mohon ampun," lirihku berucap dalam keputusasaan.
Angin menderu semakin kencang. Menggetarkan jendela kaca yang tertutup rapat.
"tok tok tok..."
Sayup kudengar ketukan pintu.
Sebenarnya, aku merasa terlalu lemas untuk sekedar melangkahkan kaki, namun sejumput harapan kembali bangkitkan gairahku.
Kuraih gagang pintu.
"Siapa?" tanyaku meraung, sebelum pintu benar-benar kubuka.
"Ini aku, Ra..."
Suara berat yang khas itu membuatku lega.
Kubuka pintu dengan cepat. Segera kulabuhkan tubuh dalam pelukannya. Tangisku memecah, tanganku erat mencengkram punggungnya. Rasa takut membuatku abai dengan rasa sungkan.
"Tenang Ra, jangan takut, aku akan menemanimu sampai hujan kembali reda, ya..." ucapnya mencoba menenangkan.
Kamipun masuk beriringan, ku gandeng lengannya dengan kuat, seolah takut ditinggalkan. Rasanya begitu nyata lesatan kenangan buruk itu tergambar, sampai rasa sakitnya pun persis sama seperti ketika adegan itu terjadi bertahun yang lalu.
"Kamu sudah makan, Ra...?"
Tangisku mulai melemah, hanya isak sesekali terdengar.
Kugelengkan kepala.
Ia sudah duduk di sofa, sementara aku masih diam mematung memandangi bulir hujan berjatuhan lewat kaca jendela.
Ia kembali berdiri, menghampiri.
"Duduk Ra, biar kubuatin kamu makanan ya..." ucapnya lembut seraya menarik pelan lenganku, memanduku menuju sofa.
Aku hanya menurut dalam diam. Masih syok dengan segala loncatan kenangan yang tiba-tiba berhamburan sesaat setelah menatap guyur hujan membasahi bumi disertai guntur yang bersahutan.
Masih jelas dalam ingatan, peristiwa mencekam yang membuat segala tawa tercerabut seketika. Ketika guncangan bumi begitu cepat memorak porandakan kota kami. Aku terkulai lemah mendapati seluruh keluargaku hanyut terbawa ganasnya tsunami yang menyerta setelah gempa bertubi tubi menggetarkan bumi.
Sekilas kulihat pantulan bayangan tubuhnya yang sigap menyalakan kompor.
Beberapa hari lalu Pras ke rumahku, ketika aku sedang bersiap memasak untuk bekal makan siangku di kantor. Ia berkeras ingin mengantarku, walau berbagai alasan kubuat untu menolaknya .Pras keras kepala.
Ia bahkan datang lebih awal. Terlalu awal tepatnya.
Ia hanya terdiam membisu. Kukira ia hanya merasa bosan menunggu, ternyata dia sangat memperhatikan detailnya. Lihatlah, ia begitu percaya diri menawarkan makanan yang ia buat sendiri, di rumahku, tanpa sepatah katapun terlontar memertanyakan letak bahan dan alat memasak.
Dan tak lama ia kembali membawa sesuatu dalam mangkok yang tampak mengepulkan asap. Aroma mewangi cukup menggelitik hidungku, walau kuakui waktunya tidak tepat, aku sedang tak nafsu makan.
Sekilas kulihat pantulan bayangan tubuhnya yang sigap menyalakan kompor.
Beberapa hari lalu Pras ke rumahku, ketika aku sedang bersiap memasak untuk bekal makan siangku di kantor. Ia berkeras ingin mengantarku, walau berbagai alasan kubuat untu menolaknya .Pras keras kepala.
Ia bahkan datang lebih awal. Terlalu awal tepatnya.
Ia hanya terdiam membisu. Kukira ia hanya merasa bosan menunggu, ternyata dia sangat memperhatikan detailnya. Lihatlah, ia begitu percaya diri menawarkan makanan yang ia buat sendiri, di rumahku, tanpa sepatah katapun terlontar memertanyakan letak bahan dan alat memasak.
Dan tak lama ia kembali membawa sesuatu dalam mangkok yang tampak mengepulkan asap. Aroma mewangi cukup menggelitik hidungku, walau kuakui waktunya tidak tepat, aku sedang tak nafsu makan.
"Ra, makan dulu ya..." Semangkok bubur hangat ia letakkan di atas meja.
Aku bergeming.
"Mau kusuapin?"
Aku menggeleng. Kuambil mangkok, mencoba menyuapkan sesendok bubur dengan tanganku yang lemah dan bergetar.
"Kubantu ya..." tiba-tiba ia sudah duduk di sampingku.
Aku tersenyum.
"Makasih, Pras. Kamu sangat baik. Maap ya, aku hanya merepotkanmu terus," ucapku tulus.
"Sudahlah, tak usah sungkan Ra. Aku yang harusnya minta maap. Karena meminta terlalu banyak. Mungkin memang kita ditakdirkan hanya sebagai sahabat, yang siap sedia merangkul saat salah satu dari kita 'terpukul'. Dan kebetulan saat ini aku dalam posisi yang siap merangkul disaat kamu 'terpukul'."
Pras kembali mengungkit penolakanku padanya. Atau mungkin dia tak bermaksud demikian. Aku tahu, Pras selalu tulus. Tidak seharusnya aku berpikiran buruk padanya setelah semua kebaikanny selama ini.
Pras kembali mengungkit penolakanku padanya. Atau mungkin dia tak bermaksud demikian. Aku tahu, Pras selalu tulus. Tidak seharusnya aku berpikiran buruk padanya setelah semua kebaikanny selama ini.
"Thanks. Akupun tak tahu, mengapa begitu berat mengabulkan inginmu, padahal hanya sebatas anggukan. Maap," ucapku menyesal.
"Its ok, Ra," ucapnya lirih.
"Semoga Tuhan membalas kebaikanmu dengan yang terbaik. Dan mungkin aku bukan yang terbaik yang Tuhan pilihkan untukmu."
Ia hanya diam. Tak lama bangkit berdiri, menatap kosong pada jendela.
"Syukurlah, kamu sepertinya sudah merasa baikan. Semoga hujannya segera mereda. Biar kamu gak kelamaan ngerasa canggung begini," ucapnya mengulum senyum.
"Thanks again," ucapku penuh rasa terimakasih.
Prasetya Pamboedi, pria necis, berhidung bangir yang sudah menjadi sahabatku sedari kecil ini memang selalu peduli denganku, walaupun pada akhirnya, aku, Ratih Wulandari hanya meninggalkan luka di hatinya, saat Pras tiba-tiba menyatakan cinta, namun aku menolaknya.
Karena bagiku, Pras sahabat terbaik yang tak tergantikan. Dan aku hanya tak ingin kehilangannya sebagai sahabat.
Rasanya aneh, seandainya ia memacariku dan akhirnya kami putus, itu sangat menakutkan bagiku.
Karena mungkin Pras tak akan kembali mejadi sahabat terbaikku seperti sekarang.
Aku tak mau hubungan baik yang sudah terjalin sedemikan panjang akan berakhir hanya karena kata putus.
Bagaimana seandainya dia memang jodohku? Kisah asmara kami berakhir di pelaminan?
Bagiku, itu hanyalah mimpi yang tak nyata. Aku yang yatim piatu, tak berpunya, masihkah pantas menerima kebaikannya lebih dari ini?
Mungkin Pras bisa menerimaku apa adanya, tapi bagaimana dengan keluarga besarnya?
Bagaimanapun aku tak akan tega melhat Pras akhirnya mengorbankan kebahagiaannya demi diriku, walau atas nama cinta sekalipun.
Pras kembali mendekatiku.
"Sudahlah, jangan berlebihan," ucapnya menenangkan.
Lembut tangannya menepuk pundakku.
"Istirahatlah. Hujannya sudah mereda. Aku pulang ya. Kau tak apa kutinggalkan sekarang?" tanyanya lembut.
Ah Pras, kenapa kau sangat baik padaku. Itulah mengapa aku sangat sulit melepasmu.
Namun, aku pun tak setega itu, membiarkanmu terus berkorban untukku. Pasti kau sakit kan? Walau ku yakin, kau tak akan pernah mengakuinya.
"Pulanglah, Pras. Aku sudah merasa baikan kok. Maaf ya, aku selalu merepotkan."
Pras tersenyum, melabuhkan tangannya di rambutku, perlahan mengacaknya lembut.
Hatiku berdesir.
Oh Tuhan, tolonglah, aku tak ingin rasa ini semakin menguat.
"Sudah jangan berpikiran aneh-aneh. Aku balik ya..."
Aku mengangguk perlahan. Mencoba mengukir senyum di bibir sementara hatiku bergejolak.
Pras melangkah perlahan menuju pintu, membukanya, sejenak menoleh, menyungging senyum sebelum akhirnya sempurna pintu tertutup rapat kembali. Meninggalkan ku yang kini terdiam dalam kecamuk. Rasa bersalah tak henti meronta dalam benakku.
Rasanya aneh, seandainya ia memacariku dan akhirnya kami putus, itu sangat menakutkan bagiku.
Karena mungkin Pras tak akan kembali mejadi sahabat terbaikku seperti sekarang.
Aku tak mau hubungan baik yang sudah terjalin sedemikan panjang akan berakhir hanya karena kata putus.
Bagaimana seandainya dia memang jodohku? Kisah asmara kami berakhir di pelaminan?
Bagiku, itu hanyalah mimpi yang tak nyata. Aku yang yatim piatu, tak berpunya, masihkah pantas menerima kebaikannya lebih dari ini?
Mungkin Pras bisa menerimaku apa adanya, tapi bagaimana dengan keluarga besarnya?
Bagaimanapun aku tak akan tega melhat Pras akhirnya mengorbankan kebahagiaannya demi diriku, walau atas nama cinta sekalipun.
Pras kembali mendekatiku.
"Sudahlah, jangan berlebihan," ucapnya menenangkan.
Lembut tangannya menepuk pundakku.
"Istirahatlah. Hujannya sudah mereda. Aku pulang ya. Kau tak apa kutinggalkan sekarang?" tanyanya lembut.
Ah Pras, kenapa kau sangat baik padaku. Itulah mengapa aku sangat sulit melepasmu.
Namun, aku pun tak setega itu, membiarkanmu terus berkorban untukku. Pasti kau sakit kan? Walau ku yakin, kau tak akan pernah mengakuinya.
"Pulanglah, Pras. Aku sudah merasa baikan kok. Maaf ya, aku selalu merepotkan."
Pras tersenyum, melabuhkan tangannya di rambutku, perlahan mengacaknya lembut.
Hatiku berdesir.
Oh Tuhan, tolonglah, aku tak ingin rasa ini semakin menguat.
"Sudah jangan berpikiran aneh-aneh. Aku balik ya..."
Aku mengangguk perlahan. Mencoba mengukir senyum di bibir sementara hatiku bergejolak.
Pras melangkah perlahan menuju pintu, membukanya, sejenak menoleh, menyungging senyum sebelum akhirnya sempurna pintu tertutup rapat kembali. Meninggalkan ku yang kini terdiam dalam kecamuk. Rasa bersalah tak henti meronta dalam benakku.
"Maapkan aku, Pras..." ucapku lirih.
"Bersabarlah sebentar lagi. Mungkin esok hatiku lebih kuat, dan mantap untuk melepasmu.
Semoga kelak kau temukan seseorang yang lebih baik dariku. Yang mampu mebahagiakanmu, mengindahkan masa depanmu dan menjadi kebanggaan bagi keluarga besarmu. Dan sayangnya itu bukan aku." Mataku kembali mengembun.
#kelasfiksiodopbatch6
"Bersabarlah sebentar lagi. Mungkin esok hatiku lebih kuat, dan mantap untuk melepasmu.
Semoga kelak kau temukan seseorang yang lebih baik dariku. Yang mampu mebahagiakanmu, mengindahkan masa depanmu dan menjadi kebanggaan bagi keluarga besarmu. Dan sayangnya itu bukan aku." Mataku kembali mengembun.
#kelasfiksiodopbatch6
Terimakasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. 🙏😊
Lhooooo kenapa tidak? Ah...pembaca jadi galau ini. Yah....terima sajalah Pras itu, soal keluarga semua bisa diatur asala ada keyakinan. Eh....jadi terbawa dalam cerita hehehehehe
BalasHapusPras baik hati lho!
BalasHapusKalau cinta kenapa tak bersatu saja? 😉
BalasHapus