Pixabay |
"Buka pintu!"
Gedoran pintu berulang terdengar nyaring. Sekonyong penghuni rumah berderap mengahampiri arah teriakan. Terburu, sekelumit praduga berkecamuk, khawatir dan kesal berbaur menyatu dalam isi tempurung kepala.
"cekrek, cekrek".
Anak kunci diputar dua kali.
Wanita muda berpiyama menarik gagang pintu dengan terburu. Matanya siap menatap tajam pada si pemilik suara nyaring yang menunggu di balik pintu. Suaranya tercekat. Segala serapah tertahan ditenggorokan, bibirnya mendadak kelu demi melihat sosok dihadapannya.
"Abdul???" pekiknya lirih.
Pria di hadapannya berdiri mematung. Wajah kucel, rambut acak-acakan. Nafasnya tersengal, keringat membasah di pelipis mata. Menyadari tatapan kaget wanita di hadapannya, Abdul mundur selangkah. Mengatur nafasnya agar lebih berirama.
"Vi.... Aku minta maaf," ucapnya penuh penyesalan.
Wanita muda di hadapannya hanya menunggu. Menunggu penjelasan. Namun Abdul hanya terdiam. Mereka saling pandang dalam keheningan yang janggal.
"Duduklah...," akhirnya kata itu meluncur begitu saja dari mulut Vina.
Abdul bergeming.
"Kenapa?"
"Entahlah..."
"Jelaskan!"
"Haruskah?"
"Setelah semua ini, kau masih berfikir aku tak mempunyai hak atas penjelasan?!?"
"Bukan, bukan begitu...."
"Lantas?"
"Haruskah kita berakhir seperti ini?"
"Kau yang memilih. Silakan bertanggung jawab atas pilihanmu."
"Ya, aku menyesal. Aku..."
Vina menatap wajah Abdul dengan seksama, aura penyesalan tampak jelas pada kerling mata. Mata yang dahulu begitu ia rindukan. Mata elangnya, yang kini terlihat sendu dan redup.
"Aku tak butuh kata penyesalan..." suaranya bergetar menahan rasa yang bergejolak dalam dada.
"Aku tahu. Apapun yang aku katakan, tak akan bisa mengubah takdir kita..."
"Takdir kita?!?" katanya mencebik.
Abdul terdiam.
"Takdir yang kau pilihkan untukku?!? Masih saja seperti dulu. Semuanya hanya tentang kamu, mimpimu, inginmu, rasamu, harga dirimu. Sementara aku, hanya kau anggap sebagai bagian dari takdirmu?"
"Vi.... Aku salah, ya... Aku minta maaf. Beri aku kesempatan untuk menebus semua salahku padamu..."
"Lupakan."
"Maksudmu?"
"Berlarilah bersama takdirmu, tak perlu kau menengok ke belakang, masa lalumu, lupakan semua tentang kita. Jalanilah takdirmu, biarkan aku sendiri...."
"Vi...."
"Abdul! Tak cukupkah semua sakit yang telah kau beri? Hanya itu pintaku. Pergilah. Lupakan aku. Lupakan masa lalu kita. Aku hanya ingin menapaki kehidupan baru, tanpamu yang terus menghantuiku dengan rasa itu... Aku muak. Aku lelah...." tangisnya memecah. Tak sanggup lagi ia menahan segala rasa. Lara, amarah, perih, sesal, segala rasa yang membuat hatinya pilu dan menyedihkan...
"Maafkan aku Vi... " hanya itu yang bisa Abdul katakan.
"Pergilah!"
Abdul menatap wajah Vina dengan takjim, berat rasanya melupakan kenangan mereka. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa. Setelah luka dalam yang ia torehkan, memang ia pantas mendapatkan semua perlakuan Vina saat ini. Ia pantas dicampakkan. Tunggu dulu. Benarkah ia dicampakkan? Bukankah Vina yang telah ia campakkan?!?
Abdul tak kuasa menahan tangis. Matanya membasah, ia melangkah gontai, meninggalkan Vina yang tetap berdiri disana, dengan derai air mata yang tak sanggup ia hapuskan.
Vina berbalik, dengan tenaga yang tersisa, menyeret langkahnya dalam kepiluan yang tak terkatakan. Ia menutup pintu, dan bersandar. Tangisnya semakin memecah.
"Tuhan, tak pantaskah aku mencecap sedikitpun kebahagiaan?"
Abdul dan Vina. Dua sejoli yang saling mencinta. Berakhir dengan luka. Hanya karena perbedaan kasta. Abdul yang bermartabat, sedangkan Vina yang hina. Jalan takdir tak merestui mereka. Setelah pengorbanan sebegitu besar, nyatanya yang Vina dapatkan hanyalah luka.
Mungkin benar adanya, walaupun manusia tercipta sama sebagai makhluk Tuhan yang mulia, namun manusia yang merasa sempurna tak rela berbagi dunia dengan mereka yang papa, hanya merusak kesempurnaan duniawi yang mereka cipta. Maka terciptalah kasta yang tak kasat mata. Ada batas disana, yang jika si miskin memaksa untuk melintasinya, maka luka harus siap ia terima dengan lapang dada. Dan Vina kini menyadarinya. Abdul adalah mimpinya, namun Vina bukanlah mimpi bagi keluarganya. Maka disinilah ia berakhir. Sebagai pecundang yang kalah. Ternyata ia tak mampu mendobrak batas kasat mata yang dulu ia sangsikan keberadaannya.
#kelasfiksiodop6
Terimakasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. 🙏😊
Kasta bisa memisahkan cinta. Itu menyedihkan.
BalasHapusDan masih ada sampai jaman semilenial ini
BalasHapusMemilukan
BalasHapusSedih bacanya
BalasHapusjadi pengen nangis
BalasHapus