"Ri, minggu depan kamu jadi pulang kan?" Suara renyah terdengar dari speaker gawai yang menempel di telinga Rindu.
"InsyaAllah bu, doakan saja semoga kerjaan Riri beres sebelum akhir pekan," jawabnya pelan.
"Ya, pasti. Doa ibu tak pernah putus untuk gadis semata wayangya ibu. Bukan hanya kerjaan, semuanya, termasuk...."
"Tuh kan, mulai deh ibu godain Riri lagi...."
"Haha... iya maaf, habis gadis manisnya ibu ini gak pernah kenalin ibu sama seorang pria pemikat hati gitu..."
"Udah ah bu, urusan kerjaan aja Riri udah kalang kabut, gimana ditambah masalah baru..."
"Ya sudah, yang penting jaga kesehatan ya, jangan capek-capek, kerjaan bisa ditunda, kesehatan tetap nomor satu,"
"Iya, iya... Kututup ya bu, dah ibu. Mmmuuaah..."
"Eh, main tutup aja, ibu belum selesai tahu..."
"Apalagi sih bu?"
"Ya udah lah, hati-hati ya nak, assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam..."
Diletakkanya gawai sembarang, matanya menerawang, menatap lekat ujung meja rias.
Pria pemikat hati. Selintas kata ibunya berputar di udara.
"Bukan tak mau mengenalkan bu, hanya saja...." bisiknya pada hampa, kemudian menghela nafas panjang.
Rindu menatap pantulan wajahnya di cermin. Ada getir disana. Tak cukup cantikkah ia untuk seorang Rama? Mengapa begitu sulit hatinya ia taklukan.
Sudah bertahun lamanya ia mengenal Rama, kedekatan yang tak biasa untuk sekedar disebut teman. Namun hingga saat ini tak ada kepastian terlontar dari mulutnya. Rama seolah memberi harapan, namun tak jua memutuskan.
Haruskah ia secara frontal menanyakan langsung padanya?
Dulu mungkin ia sabar menanti, tanpa beban, namun kini, di usianya jelang 30, ia cemas. Entah apa yang membuatnya merasa begitu. Cemoohan orangkah? Perawan tua?!?
Sial! Mengapa usia selalu menjadi tolak ukur kebahagiaan seseorang ketika akad pertama kali terucap. Semakin muda, semakin bahagia?!? Begitukah?
"Aargh!" Rindu mengacak gemas rambutnya.
"Tuhan, please, bukalah pintu hati Rama agar ia tak semakin lama lagi menggantungkan rasaku dalam penantian tak berujung. Jika memang dia bukan jodohku, aku pasrah, Tuhan...
Sepertinya patah hati terdengar lebih menyenangkan ketimbang menunggu yang tak pasti. Setidaknya, aku punya kesempatan untuk move on, bukan setia pada penantian panjang yang tak kunjung bertemu ujung," ucapnya lirih meluapkan emosi.
Rindu beringsut menuju tempat tidur. Menjatuhkan badannya di atas kasur, menatap langit-langit tak berkedip. Perlahan menghirup udara panjang, menghembus seraya memejam mata.
"Bismika Allahuma ahya wa amuut," bisiknya lirih.
***
Seminggu berlalu, dan kebit hatinya tak jua mereda. Rama sungguh luar biasa, mengolok jiwanya dengan segala perhatian yang tak biasa, namun tetap tanpa kepastian. Rindu lelah. Sudah saatnya ia menyudahi ini.
Jika Rama memang sungguh-sungguh ingin melabuhkan rasa padanya, ini adalah kesempatan terbaik, Rindu bisa sekalian memintanya ikut ke rumah saat pulang esok, mengenalkan pada ibu, menghentikan olokan tak bermutu yang kerap terlontar dari mereka yang selalu bertanya dengan mengatasnamakan kepedulian.
Namun jika sebaliknya, maka Rindu tak akan menghadapi kekecewaan dalam kesepian. Ia akan melampiaskan segala rasa kepada ibunya. Ya, rumah adalah tempat ternyaman mengobati luka hati. Karena disana, cinta ibu dan keluarga akan selalu siap sedia memeluk. Menguatkan.
Rindu menegakkan badan, berjalan mantap menuju kantor.
Ya, siang ini ia harus bicara serius dengan Rama.
#Tantangan2
#Songlit
Terimakasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. šš
*langsung nyari playlist Bunda...
BalasHapusDigantung itu memang menyakitkan.
BalasHapusKalau digantung takut jatuh ya, mba
BalasHapusudah setara dengan hanger ini
BalasHapusbagus lagunya..
BalasHapuseh galfok..
cari arti lagunya dulu
suka
BalasHapus