![]() |
Pict by Pixabay |
Dilansir dari Wikipedia, pada bulan Oktober saja tercatat ada lebih dari 20 hari yang diklaim sebagai hari peringatan.
Misalnya saja tanggal 2 Oktober kemarin, kita rayakan sebagai Hari Batik Nasional, kemudian tanggal 5 Oktober diingat sebagai Hari Tentara Nasional Indonesia.
Bagi yang terkait dengan hari-hari tersebut, tentu itu merupakan hari yang istimewa. Setiap orang memilki caranya sendiri dalam mengekpresikan kebahagiaan dan kebanggaannya.
Apakah hanya pada hari itu, sesuatu bernilai istimewa?
Sebagai contoh, tanggal dua Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Seluruh laman media sosial penuh dengan kalimat demi kalimat yang berkaitan dengan tema ini. Seperti biasanya, sebuah isu hanya akan menjadi topik utama pada momen tertentu.
Tanggal 21 April misalnya, setiap orang seolah takut ketinggalan untuk menyemarakkan peringatan Hari Kartini.
Pada hari ini, seolah sosok wanita mandiri, berprestasi dan menginspirasi begitu dicintai, dimuliakan, dan dielu-elukan.
Atau saat peringatan Hari Ibu. Sosok ibu pada hari itu adalah orang yang paling banyak mendapat ucapan selamat, bukan?
Ia pun akan diperlakukan begitu istimewa. Kalimat positif untuk para ibu berkelindan di seantero negeri, puja puji untuk sosok ibu memenuhi langit dunia, ucapan terima kasih bagi perjuangan dan pengorbanan seorang ibu bertubi tubi tergores indah dalam postingan media sosial lintas platform.
Bagaimana perasaan ibu? Bahagiakah?
Mungkin iya. Mungkin tidak.
Ya, karena keriuhan ini membuat ibu merasa cukup terhibur. Setelah seharian bergulat dengan tugas domestik dan segala macam urusan keluarga _anak dan suami_ mereka bisa sejenak menikmati keharuan dan buncahan kebanggaan atas "kerja kerasnya" yang dibayar dengan beragam apresiasi lewat luncuran kata penuh makna.
Apakah perlakuan istimewa ini hanya akan ia terima di saat momen hari ibu?
Bisa jadi, iya. Karena tanpa momen, ia hanya akan menjadi sebuah rutinitas, yang boleh jadi sudah tidak lagi terasa istimewa.
Tak ada lagi sanjung puja mengudara memenuhi atmosfer semesta raya.
Maka, jika ada yang bilang, mengapa harus ada Hari Ibu? Bukankah memuliakan ibu adalah kewajiban sepanjang usia? Tidak harus menunggu dulu tibanya hari ibu untuk mencurahkan cinta kasih pada ibu, bukan?
Jawabannya adalah, karena terkadang kita membutuhkan momentum, untuk membuat sesuatu hal terasa lebih istimewa.
Bukan berarti kita dilegalkan untuk tidak membaktikan diri kepada ibu di luar hari ibu. Hanya saja, faktanya, di luar hari ibu, kita akan memperlakukan ibu sekedarnya saja. Biasa-biasa saja.
Berangkat sekolah, berpamitan, cium tangan, ucap salam. Selesai. Tidak ada bunga, tidak ada kado istimewa. Tidak pula tampak perlakuan istimewa terhadap seorang ibu.
Misalnya saja, pada Hari Ibu, tetiba saat bangun tidur di pagi hari, rumah sudah rapi, sarapan sudah tersedia, sebatang cokelat dan setangkai bunga teronggok manis di atas meja.
Bisakah seorang ibu memperoleh suka cita semacam ini setiap hari, atau paling tidak sebulan sekali?
Faktanya, ya memang di hari ibu saja, orang-orang menjadi lebih peduli dengan peran istimewa seorang ibu.
Maka, tidak menjadi soal jika setiap tahun ada satu hari istimewa, di mana ibu akan mendapat begitu banyak sorotan, menjadi "ratu" dalam sehari.
Karena ibu pun hanya seorang wanita biasa, yang mudah terpesona dan merasa bahagia, bahkan hanya dengan sekedar menerima "ucapan manis" yang mampu melambungkan hatinya.
Apalagi, jika itu justru serentak dilakukan oleh seluruh penghuni bumi. Saat melihat lini masa di media sosial, sejauh mata memandang yang terlihat adalah postingan positif mengenai ibu. Ungkapan cinta untuk ibu. Apresiasi positif terhadap peran seorang ibu. Ibu mana yang tak berbunga hatinya kala membacanya?
Mungkin yang menjadi soal adalah, perilaku lebay segelintir manusia, yang begitu bersemangat memposting ucapan selamat dan curahan kasih sayang terhadap ibu, tanpa dibarengi dengan perlakuan serupa saat di dunia nyata.
Maka, bagi mereka yang kontra, peringatan hari ibu tidaklah efektif sama sekali. Jika tidak memberi dampak positif, mengapa harus capek-capek memperingati?
Namun, terkadang, ketika seluruh dunia membicarakannya, isu itu akan terasa lebih berkesan, bukan?
Kembali lagi pada Hari Pendidikan Nasional. Apakah ada juga yang mengkritisi hari ini dengan ungkapan, mengapa harus ada hari pendidikan nasional? Apakah kita hanya benar-benar peduli dengan pendidikan hanya pada momen Hardiknas? Bukankah kita diwajibkan menuntut ilmu di sepanjang usia? Bukan hanya saat peringatan Hardiknas?!?
Entahlah ...
Bagi saya, mendeklarasikan sebuah tanggal untuk diperingati, hanyalah sekedar sebuah upaya untuk kembali menyerukan keistimewaan momen tersebut.
Setidaknya, melalui momen ini, gairah kita untuk lebih peduli dengan isu yang sedang 'diangkat' ini menjadi semakin menguat.
Karena, ketika kita berada dalam suatu atmosfer yang kuat, maka semangat kita pun akan semakin menggelora.
Ketika dimana-mana kepedulian terhadap pendidikan digaungkan, maka akan semakin mudah semangat itu menulari kita yang juga berada dalam euforia yang sama, bukan?
Setidaknya, melalui peringatan hari pendidikan ini, semakin banyak para orang tua yang semakin tercerahkan. Bahwasanya, pendidikan anak bukanlah kewajiban utama seorang guru saja. Justru peran utama pendidikan ada di pundak orang tua.
Bagi saya entah hari ibu, hari buku, hari bapak, hari pramuka, hari batik dan sebagainya, hanyalah sebuah simbol, suatu upaya untuk membangkitkan semangat kita menjadi lebih peduli dengan isu-isu tersebut.
Selama dalam proses perayaannya tidak melanggar aturan dan norma yang berlaku, baik secara agama, negara maupun masyarakat, maka sah-sah saja mendeklarasikan sebuah tanggal sebagai hari peringatan, bukan?
Selamat Hari Batik Nasional. (Maaf telat. 🙈)
Selamat Hari Tentara Nasional Indonesia.
Selamat Hari apa pun yang ada di bulan Oktober.
Wallahu a'lam bishawab. 🙏
#ODOPbersamaEstrilook
#Day30
Terimakasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. 🙏😊
Komentar
Posting Komentar