Langsung ke konten utama

[Prosa Liris]: Kutanya Cinta, Kau Jawab Hampa?

Pixabay

Sudah lebih dua purnama, Engkau menjauh. Tak lagi dapat ku gapai sosokmu yang dahulu begitu mencinta, namun kini hanya hampa kurasa. 

Genggaman tanganmu sudah tak lagi erat menjerat. Engkau yang dulu merangkul lembut disaat sembab mataku oleh tangisan tanpa jeda, namun kini hanyalah murka yang kudapati. Engkau yang dahulu kerap mengalah demi melihat senyum mengulum dibibirku, kini hanya melenggang tak peduli. 

Kau begitu asik dengan duniamu sendiri, menatap layar lima inci dalam genggaman sepanjang hari. Menghabiskan sepanjang waktumu dengan hobi yang tak kupahami.

Aku tersudut dalam sepi. Merasa tersingkir dan begitu tak berarti. 

Apakah diriku sebegitu hina dalam pandangmu, hingga tak sekalipun kulihat binar mata dalam tatapmu?!?

Dan masih saja ku dapati tatapan jijik dalam kerlingmu. Aku yang kau anggap jorok, pemalas, tak bisa diandalkan, dan sederet label menyakitkan lainnya yang kau sematkan.
Apakah bagimu aku hanya sekedar sosok penggenap statusmu?!? Tidak lebih! Yang kau beri reward dengan belanja baju baju mahal, makan makanan enak, naik turun mobil mewah, ketika kau merasa diriku  cukup berjasa menjagakan keturunanmu?!?

Sementara hatiku tersayat nyeri, saat kesadaran membawaku pada titik putus asa. Tanpa sandaran ketika pijakanku melemah. 

Aku hanya wanita biasa, yang juga punya asa, dan berharap bahagia. Walau hanya sekedar pelukan hangat, belaian lembut dan sedikit kecupan. Bukankah seorang istri berhak mendapatkan itu semua sebagai kewajiban seorang suami, bukan semata-mata kehendak egois dan kekanak-kanakan?!?
Atau mungkin keinginan yang mulai terkubur itu pun kau anggap terlalu berlebihan?

Bagimu, ku hanya patut menerima dengan legowo, apapun yang telah engkau beri, walau seringkali kau ungkit jua kedermawananmu menjadi sebuah tuntutan. Aku harus membalas kebaikanmu itu dengan setimpal. Dengan pengorbanan, kesetiaan, dan penerimaan utuh. Tanpa keluh, tanpa kesah. Hanya menelan segala lara dalam diam.
Hingga mungkin suatu saat, kau menyesali, ketika ku akhirnya menemukan sandaran lain. Yang membuatku nyaman dan kerasan. Yang menjadikanku seseorang yang berharga, yang diinginkan, yang diharapkan. Bukan hanya manusia yang menjadi beban.

Terimakasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. 🙏😊

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lintang, Sang Penghibur

Pixabay Hai namaku Lintang.  Ini kisahku dengan seseorang yang sangat aku sayangi... Orang-orang mengenalnya sebagai penemu alat pembunuh kanker yang kini sedang menjadi pembicaraan banyak kalangan. Katanya dia bergelar Profesor Doktor. Tapi ia memperkenalkan diri sebagai 'War' padaku saat kita pertama kali berbincang. Karena kupikir ia terlihat sangat dewasa, dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya, memberi kesan begitu 'pintar', maka kuputuskan untuk memanggilnya "Papi War". Namun, tahukah kalian, pertemuan pertama kali dengannya adalah ketika ia sedang menunggu bus di salah satu halte.  Ia terlihat basah kuyup. Memang hari itu hujan deras tengah mengguyur kota.  Aku terduduk lemas di sampingnya, menatap jalanan yang mulai tergenang air hujan. Sekilas ia menoleh padaku. Akupun menoleh padanya. Namun dia hanya diam saja. Akhirnya kuberanikan diri saja mengajak dia bicara terlebih dulu. Awalnya ia cuek ...

SETULUS CINTA DEWI

Courtesy: Google "Segumpal rasa itu kau sebut cinta Seperti pelangi selepas hujan Ada rindu disana Bersemayam dalam harapan Yang perlahan memudar Saat rasamu ternyata tak kunjung terbalas" Dewi Maharani. Kisah asmaranya seumpama puisi. Indah membuai namun hanya ilusi. Berbilang masa ia setia. Namun waktu tak jua berpihak padanya. Adakah bahagia tersisa untuknya? *** "Wi, kamu habis ketemu lagi sama si Wijaya?" Suara ibu menggetarkan udara, menyambut kedatangan anak perempuan satu-satunya itu. Dewi bergeming. Matanya lekat menatap semburat cahaya mentari yang memantul lembut dari sebalik jendela. "Wi, kenapa sih kamu terus memaksakan diri. Wijaya itu sudah beranak istri. Sudahlah, berhenti saja sampai disini. Sudah telalu banyak kamu berkorban untuknya," Wanita paruh baya itu menambahkan, kembali menasehati gadisnya untuk kesekian kali. Perlahan si gadis pemilik mata sayu menghela nafas, sejenak mengumpulkan kekuatan untuk membalas ucapan ibunda ...

Menggali Potensi Diri dengan Menulis Antologi

Pict: Pixabay Bismillahirrohmaanirrohiim... Tahun ini adalah tahunnya panen buku antologi. Huaaa... ini bahagianya campur-campur sih. Antara senang tapi gemes, soalnya perbukuan ini kok ya launchingnya hampir berbarengan... *kekepindompet Terlepas dari itu, ya pastinya saya sangat bersyukur dong, sekaligus bangga, ternyata saya bisa mengalahkan bisik ketakutan dalam diri yang merasa tak mampu, malas hingga cemas. Bisa nggak ya? Bagus nggak ya? Laku nggak ya? *ups Sebenarnya, dari awal, tujuan saya ikut berkontribusi dalam even nulis buku bareng ini, hanya karena ingin punya karya, yang kelak bisa juga membuat saya, setidaknya merasa bangga dan bersyukur pernah berkontribusi dalam membagikan kemanfaatan dari apa yang saya miliki.  Entah pengetahuan walau cuma seuprit, atau pengalaman yang baru seumur jagung, atau sekedar curahan hati yang bisa diambil hikmahnya oleh yang membaca. *semoga 🤲 Makanya, saat launching buku, saya tidak ngoyo ...