Warsito terlahir sebagai anak dari pasangan Purwo Taruno dan Rubiyah pada tanggal 15 Mei 1967. Ia merupakan anak ke lima dari tujuh bersaudara.
Ia menikmati masa kecilnya hingga jelang SMA di desa Ploso Lor.
Keluarganya bukanlah orang berada, ayahnya hanya bekerja sebagai petani. Kehidupan masa kecilnya dihiasi dengan keprihatinan. Namun, itulah yang kelak mengantarkannya pada kebrhasilan.
Ia berjiwa pejuang, pantang menyerah namun berhati lembut. Ia mudah bersimpati dan berempati. Selalu memikirkan orang lain ketimbang dirinya sendiri.
Tercatat sebagai murid di SD plosorejo 1 selama enam tahun, hingga dinyatakan lulus dan mendapat STTB pada tanggal 30 Juni 1980.
Kemudian melanjutkan sekolah di SMP 1 Matesih yang ditamatkan pada tahun 1983.
Warsito remaja memiliki watak yang pendiam dan tidak neko neko.
Warsito melanjutkan sekolah ke SMA Negeri 1 Karanganyar, yang merupakan sekolah favorit pada masanya. Ia berhasil lulus dengan prestasi yang membanggakan, mendapati predikat sebagai juara umum 2.
Namun Warsito tak pernah sombong dan tinggi hati atas prestasinya.
" Saya tidak menganggap diri saya lebih pintar dari anak-anak lain. Saya hanya tidak punya kemewahan waktu untuk belajar, sebab sepulang sekolah saya harus ke sawah membantu bapak, kemudian membantu simbok di rumah. Nyapu, nyuci, menimba air, dan sebagainya. Jadi, saya menyalin rumus ke kertas, di lipat-lipat seukuran telapak tangan dan dibaca sambil ndedeki sawah." (Warsito)
Selepas lulus SMA, ia ikut PMDK di UGM, namun dinyatakan tidak lolos. Warsito sempat kecewa, karena itu harapan satu satunya, ia menyadari kondisi finansial keluarga yang tidak memungkinkan bapaknya untuk membiayai kuliahnya.
Kemudian ia 'mengadukan' keresahan hatinya pada ibu Puji Indrastuti, gurunya.
"Dia datang ke ruangan saya sambil nangis. Saya kasih nasihat bahwa tidak lolos PMDK itu bukan akhir dunia. 'Gagal itu adalah kalau kamu putus asa', saya bilang begitu ke dia. Saya tekankan juga, kadang orang harus muter-muter jalannya sebelum bertemu kesuksesan". (Puji Indrastuti)
Setelah mendapat wejangan sekaligus aliran semangat dari bu Puji, Warsito kembali bangkit, dan jiwa pantang menyerahnya kini menuntunnya pada harapan baru. Ia menngikuti Sipenmaru, dan diterima di Teknik Kimia UGM.
Namun selang seminggu selepas dirinya resmi sebagai mahasiswa UGM, kakaknya, Djamal, mengabarkan tentang kesempatan menuntut ilmu di luar negeri lewat jalur beasiswa yang di selelenggarakan oleh BPPT, dengan nama OPF (Overseas Fellowship Program), program beasiswa rintisan menristek kala itu: B.J. Habiebie.
Dan takdirpun membawanya pada pengalaman baru yang begitu penuh warna. Ia buktikan bahwa ia layak menerima beasiswa tersebut, Warsito berhasil merampungkan S1 dan S2 di Shizuoka University dengan sangat baik, bahkan nilai VGA nya diganjar sempurna : 4.00.
Warsito menikahi seorang perempuan Indonesia bernama Rita, dan dikaruni 4 orang putra.
Pada tahun 1994, saat pemerintah menghentikan program beasiswa "OPF", ia pun harus rela berpisah dengan istri dan anaknya demi mewujudkan mimpi di negeri Sakura.
Istri dan kedua anaknya saat itu harus kembali ke Indonesia, sementara Warsito melanjutkan penelitiannya di negeri Sakura.
Berbekal prestasi akademis dan rekomendasi dari Shigeo Uchida, Dekan Fakultas Teknik kimia, Shizuoka Univresity, Warsito mengajukan beasiswa S3 pada Mumbusho (Kementrian Pendidikan Jepang). Dari 55 orang yang berasal dari berbagai negara di Asia, Warsito lah yang mendapatkan kesempatan mendapat beasiswa tersebut.
Kesempatan itu tak ia sia-siakan, bermodal keyakinan, kegigihan dan kerja keras akhirnya pada 7 Maret 1997 ia resmi menyandang gelar Doktor dari Departement of Applied Ellectronics, Graduate school of ellectronic science and technology, Shizuoka University. Disertasinya berjudul "Ultrasonic Tomography for Analyzing the Hydrodinamyc of Three-Phase Flow System". (Analisis Hidrodinamika Sistem Fluida Tiga Fase dwngan Tomografi Ultrasonik).
Pada Konfrensi Internasional di TU Delft pada 23-25 Agustus 1999, Warsito yang baru menyandang gelar Doktor selama dua tahun, terpilih srbagai salah satu pembicara kunci.
Dari sinilah, sepak terjang Warsito mulai dilirik para peneliti senior. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Liang-Shih Fan, dan mendapat tawaran untuk bergabung dengan timnya dalam penelitian.
"Saya punya problem di riset perminyakan. Kendala yang saya hadapi adalah pada skala industri, yaitu bagaimana caranya bisa melihat tembus pada reaktor, dari kondisi kosong sampai betul-betul penuh partikel padat, cair dan gas," ungkap Fan saat itu.
Setelahnya, Warsito pun hijrah dari negeri Sakura menuju Amerika.
Hingga pada tahun 2003, ketika masa berlaku visa schoolar nya sudah habis, dan ia harus menggantinya menjadi visa pekerja profesional, yang mengharuskannya menetap selama dua bulan di Indonesia sebelum visanya keluar, ia pun melanjutkan penelitiannya di Indonesia.
Pada 3 Desember 2007, bersama rekannya Edi Syukur, Warsito mendirikan perusahaan berbasis teknologi bermotokan "The Engine of Tommorow". Ini merupakan langkah kongkrit Warsito sebagai ketua MITI yang peduli dengan perkembangan dan kemajuan riset dan teknologi di Indonesia.
Setelah melalui berbagai rintangan, akhirnya di lantai dua, di sebuah ruko miliknya di kawasan Tangerang, sebagai basis "Edward Technologi", Warsito berhasil menemukan EVCT (Electrical Capacitance Volume Tomography).
Yang kemudian hari menjadi cikal bakal terciptanya berbagai alat pembunuh sel kanker, yang sempat membuat "gaduh" dunia medis.
Persinggungannya dengan dunia medis di awali dengan sebuah kepedulian dan cintanya pada kakaknya, Suwarni, yang divonis menderita kanker payudara stadium 4. Seminggu kemudian ia melakukan operasi pengangkatan payudara. Namun ternyata sel kanker masih tertinggal pada luka bekas sayatan. Yuk Warni, dianjurkan untuk kemoterapi oleh dokter, namun kakaknya itu menolak melakukan kemoterapi, karena tidak ada juga kepastian untuk sembuh setelah menjalani kemoterapi yang biayanya sudah pasti tak sedikit. Menurut dokter yang menanganinya, jika ia tidak melakukan kemoterapi, kesempatannya untuk hidup hanyalah tinggal satu hingga dua tahun saja.
Berangkat dari situlah, Warsito akhirnya terilhami untuk membuat alat pembunuh kanker berbasis EVCT. Yang kemudian hari, dikembangkan sebagai ECCT.
Bulan Juli 2010, Warsito mengabari kakaknya, bahwa ia sudah membuat alat dan menawarkan Suwarni untuk memakainya.
Setelah dua bulan rutin memakai alat itu, Suwarni pun dinyatakan bebas dari kanker.
Kabar kesembuhan Suwarni telah menyebar dari mulut ke mulut. Pada akhirnya beberapa penderita kanker yang sudah kehilangan harapan mendatanginya dan meminta dibuatkan alat serupa.
Bukan semata untuk materi, Warsito pada akhirnya membuka "praktek" untuk mewadahi mereka yang memerlukan bantuannya.
Namun, ternyata, penemuannya ini menuai kegaduhan di kubu "medis". Ia diprotes, karena produk temuannya belum memenuhi "prosedur" medis, sehingga alatnya belum terjamin keamanannya.
Untuk 'menengahi', Kementrian kesehatan akhirnya meminta Warsito menutup kliniknya, dan melakukan penelitian lebih lanjut, sesuai prosedur medis yang berlaku, untuk menjamin keamanan alat temuannya.
Namun proses tersebut mungkin bisa memakan waktu yang lama, minimal lima tahun, sementara para penderita kanker yang membutuhkan alatnya sebagai sebuah harapan akan kesembuhan, mungkin tak bisa menunggu hingga waktu itu tiba.
Ia sempat kecewa dengan keputusan pemerintah untuk menutup "klinik" nya. Bukan semata karena materi, tetapi atas nama kemanusiaan dan kepeduliannya terhadap penyandang kanker yang begitu mengharapkan kesembuhan melalui alat yang ia ciptakan.
Namun, Warsito tak bisa menentang, ia hanya mencoba menerima dengan lapang dada.
Kisah Warsito yang begitu heroik ini mengajarkan kita bahwa dengan kemauan keras dan kerja keras, kita pun mampu mewujudkan mimpi bahkan "setinggi langit" sekalipun.
Seorang anak dusun pun mampu menjadi seorang penemu mumpuni, yang tak diragukan kredibilitasnya, yang diakui kepiawaiannya, dan dicari-cari di "luar" sana, walaupun di negerinya sendiri kemampuannya masih saja "disangsikan".
(Disarikan dari buku Biografi berjudul SETRUM WARSITO, yang dutulis oleh Fenty Effendy)
Terimakasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. ๐๐
Masyaa Allah, baru tahu perjuangannya pak Warsito
BalasHapusMembaca bukunya lebih "tertampar" lagi mba sama keuletan dan kegigihan beliau ini... ๐
HapusMemang ya orang yang suksea itu kerja kerasnya selalubtak main main, bedalah ama kita, eh saya maksudnya yang dikit dikit ngeluh... ๐
Mamtap
BalasHapusTerima kasih sudah berkunjung. ๐
Hapus