Langsung ke konten utama

Awali dengan Tulus, Akhiri dengan Ikhlas

Sumber: pixabay



Kita seringkali berujar "saya tulus" dan merasa diri kita sudah tulus.

Namun disaat yang sama kita merasa kecewa saat apa yang kita lakukan tidak diterima dengan baik, atau tidak mendapatkan respon seperti apa yang kita mau.

Saat kau bilang tulus, bukankah seharusnya penolakan tak akan membuat semangat tulusmu berkurang? Pun jika pada akhirnya orang lain tak melakukan seperti apa yang engkau perbuat, walaupun itu sebenarnya suatu keharusan bagi mereka, engkau tetap berbuat baik tanpa ada perasaan "dirugikan", dan tak menyerah untuk tetap berbuat baik hanya karena beralasan, "masa saya doang yang berbuat baik?"

Sungguhkah kita sudah benar benar tulus?

Jika tulus adalah melepaskan, bukankan sejatinya kita diminta untuk tidak "menagih" balasan dalam setiap ketulusan?

Jika masih terselip rasa ingin "dinilai" dan direspon dengan baik, gugurkah ketulusan yang sudah kita bangun?

Mari, kuatkan lagi tekad tulusmu, karena ketulusan yang sebenar benarnya adalah, ketika engkau tak hirau dengan apa yang akan terjadi setelahnya, bilapun itu membuat kerja kerasmu tak dianggap bernilai, karena engkau hanya tulus, tak mengharap apapun di sebalik itu semua, bukan?

Ketulusan itu selalu bersanding dengan keikhlasan. Maka belum dikatakan tulus ketika seseorang melakukannya tanpa disertai dengan keikhlasan.
Artinya, ketika kita tulus mengerjakan sesuatu, atau memberikan sesuatu kepada seseorang, maka kitapun diharuskan melengkapinya dengan keikhlasan menerima respon dari orang lain yang tidak sesuai dengan harapan kita.
Bahwa respon negatif dari orang yang kita bantu, tidak membuat ketulusan kita berkurang sedikitpun. Ataupun prasangka buruk dan caci maki dari orang yang kontra tidak serta merta membuat kita surut untuk melakukan ketulusan.

Maka belajar untuk ikhlas menerima respon yang tidak kita harapkan adalah bagian dari ketulusan.

Karena ketulusan sejati tak mudah terpatahkan hanya karena sebuah respon yang bersebrangan.

Tetaplah semangat melakukan kebaikan dengan tulus disertai keikhlasan menerima segala respon yang menyerta walaupun hal itu rentan menimbulkan rasa kecewa dalam dada.

Artinya tugas kita hanyalah memberikan yang terbaik, selepasnya, serahkan dan pasrahkan kepada Allah Yang Maha Kuasa. Jangan mengharapkan kebaikan dan balasan dari manusia semata.

*Correct Me If I'm Wrong. CMIIW*

Terimakasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. 🙏😊

Komentar

  1. Kurasa setiap manusia mengharap pamrih. Jika tak didapatkan pamrih dari manusia, setidaknya mendapatkannya dari penciptanya manusia

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lintang, Sang Penghibur

Pixabay Hai namaku Lintang.  Ini kisahku dengan seseorang yang sangat aku sayangi... Orang-orang mengenalnya sebagai penemu alat pembunuh kanker yang kini sedang menjadi pembicaraan banyak kalangan. Katanya dia bergelar Profesor Doktor. Tapi ia memperkenalkan diri sebagai 'War' padaku saat kita pertama kali berbincang. Karena kupikir ia terlihat sangat dewasa, dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya, memberi kesan begitu 'pintar', maka kuputuskan untuk memanggilnya "Papi War". Namun, tahukah kalian, pertemuan pertama kali dengannya adalah ketika ia sedang menunggu bus di salah satu halte.  Ia terlihat basah kuyup. Memang hari itu hujan deras tengah mengguyur kota.  Aku terduduk lemas di sampingnya, menatap jalanan yang mulai tergenang air hujan. Sekilas ia menoleh padaku. Akupun menoleh padanya. Namun dia hanya diam saja. Akhirnya kuberanikan diri saja mengajak dia bicara terlebih dulu. Awalnya ia cuek ...

SETULUS CINTA DEWI

Courtesy: Google "Segumpal rasa itu kau sebut cinta Seperti pelangi selepas hujan Ada rindu disana Bersemayam dalam harapan Yang perlahan memudar Saat rasamu ternyata tak kunjung terbalas" Dewi Maharani. Kisah asmaranya seumpama puisi. Indah membuai namun hanya ilusi. Berbilang masa ia setia. Namun waktu tak jua berpihak padanya. Adakah bahagia tersisa untuknya? *** "Wi, kamu habis ketemu lagi sama si Wijaya?" Suara ibu menggetarkan udara, menyambut kedatangan anak perempuan satu-satunya itu. Dewi bergeming. Matanya lekat menatap semburat cahaya mentari yang memantul lembut dari sebalik jendela. "Wi, kenapa sih kamu terus memaksakan diri. Wijaya itu sudah beranak istri. Sudahlah, berhenti saja sampai disini. Sudah telalu banyak kamu berkorban untuknya," Wanita paruh baya itu menambahkan, kembali menasehati gadisnya untuk kesekian kali. Perlahan si gadis pemilik mata sayu menghela nafas, sejenak mengumpulkan kekuatan untuk membalas ucapan ibunda ...

Mengenalkan Literasi Sejak Dini Lewat Program 'Duta Baca Cilik'

Sejak tujuh hari yang lalu, saya telah mendaftarkan Abang dalam kegiatan literasi bertajuk 'Duta Baca Cilik' yang infonya saya dapatkan melalui sebuah postingan di Facebook.  Begitu membaca, saya langsung tertarik untuk ikut serta, walaupun saya belum yakin, apakah bisa konsisten mengikuti rule yang diberlakukan, karena kebetulan pada saat yang bersamaan, saya sedang memegang banyak amanah yang harus ditunaikan. Namun, demi menemukan kembali ritme kebersamaan bersama duo krucil, saya pun 'menerima' tantangan ini. Dan, sejak Senin lalu, resmilah kami sebagai bagian dari peserta 'Duta Baca Cilik'. Sebuah kegiatan literasi, dimana, kami, para peserta, diwajibkan untuk membaca atau membacakan buku setiap hari.  Sebuah gerakan, yang memiliki tujuan untuk saling mendukung dan memotivasi para Ibunda dalam mengenalkan literasi sejak dini dengan pembiasaan membaca / membacakan buku setiap hari kepada buah hatinya. Bagi saya, ini kesempatan em...