Pixabay |
Ardi mengayuh sepedanya sekuat tenaga. Hati anak laki-laki berusia sepuluh tahunan itu dipenuhi buncahan bahagia. Ia ingin segera tiba di rumah, sebelum ayahnya kembali pergi, merantau, bekerja mencari nafkah, agar ia dan adiknya bisa melanjutkan sekolah hingga jenjang yang lebih tinggi.
Keringat mengucur, membasahi pelipis mata. Namun Ardi tak hendak berhenti, menepikan sejenak sepedanya, ia harus secepatnya tiba di rumah. Ia ingin mengabarkan langsung berita bahagia yang baru saja ia ketahui pada ayahnya. Sebelum ayah kembali ke kota.
"Ayah...!" teriak Ardi mengagetkan seisi rumah.
"Ada apa, Ardi?" Ibu tergopoh menghampiri Ardi.
"Ayah, mana, Bu?"
"Sedang mandi," ucap ibu seraya memicingkan mata ke arah kamar mandi.
Ardi nampak tak sabar menunggu.
"Kenapa sih?" tanya ibu heran sekaligus penasaran.
Ardi hanya diam, sambil meremas kuat sesuatu di tangan. Ibu sekilas melirik genggaman tangan Ardi, "Apa itu, Nak?"
Takut-takut Ardi membuka lipatan tangannya. Ibu segera meraih gulungan kertas dari tangan Ardi. Perlahan membentangkan kertas yang tampak kusut itu, kemudian membacanya lirih.
"Ini apa, Nak?" tanyanya haru sekaligus bangga.
"Iya, Bu. Itu karya Ardi. Cerpen yang Ardi tulis menang lomba. Tadi Ardi habis ke kantornya, ambil uang hadiah. Ini buat Ayah," ucapnya terbata seraya menyerahkan bungkusan yang sedari tadi menggantung di stang sepedanya.
Mata ibu berkaca kaca ketika melihat isi bungkusan yang Ardi berikan. "Terimakasih, Nak," ucap Ibu tulus.
"Maafkan Ardi, sudah ceroboh dan tidak mendengar nasehat Ayah dan Ibu, sehingga membuat kaca mata Ayah pecah. Ardi menyesal, Bu. Ardi tidak suka melihat Ayah sedih dan marah, apakah ini bisa membuat Ayah tak marah lagi, Bu?"
Ibu kembali mengangis, dipeluknya tubuh Ardi begitu kuat. Ada rasa haru sekaligus bangga. Ternyata Ardi, anaknya telah tumbuh semakin dewasa, ia telah berupaya bertanggungjawab atas kesalahan yang telah dilakukan.
"Tentu saja Ayah tak marah, Nak," suara berat Ayah menimpali.
Ardi tersenyum melihat Ayahnya terlihat tak marah lagi.
"Justru Ayah bangga padamu. Kau sudah berbuat kebaikan. Bertanggungjawab atas kesalahan yang sudah kau lakukan. Itu barulah anak lelaki sejati, Nak," ujar Ayah bangga.
Ardi berlari menghampiri Ayah, dipeluknya dengan takjim tubuh tegap sang Ayah.
"Maafkan Ardi, Ayah. Sudah membuat ayah kecewa. Ardi berjanji, lain kali tak akan lagi membantah. Ardi akan menuruti nasihat Ayah dan Ibu," ucapnya penuh penyesalan.
"Tidak apa, Nak. Setidaknya kau sudah belajar dari kesalahan. Sungguh, Ayah bangga padamu."
Ardi tersenyum riang menatap wajah sang ayah.
"Dan, terimakasih ya kacamatanya. Ini keren sekali..." kata Ayah sembari memakai kaca mata yang Ardi belikan. Walaupun kacamatanya ternyata hanya kaca mata gaya, bukan kaca mata baca seperti yang sudah Ardi pecahkan.
Namun Ayah tetap menghargai usaha Ardi untuk bertanggung jawab atas kesalahan yang sudah dilakukan.
Terimakasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. 🙏😊
Jadikan cernak kirim ke media, mbak. Hehe
BalasHapusMantap
BalasHapus