Langsung ke konten utama

Lintang, Sang Penghibur

Pixabay


Hai namaku Lintang. 
Ini kisahku dengan seseorang yang sangat aku sayangi...

Orang-orang mengenalnya sebagai penemu alat pembunuh kanker yang kini sedang menjadi pembicaraan banyak kalangan. Katanya dia bergelar Profesor Doktor.

Tapi ia memperkenalkan diri sebagai 'War' padaku saat kita pertama kali berbincang.

Karena kupikir ia terlihat sangat dewasa, dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya, memberi kesan begitu 'pintar', maka kuputuskan untuk memanggilnya "Papi War".

Namun, tahukah kalian, pertemuan pertama kali dengannya adalah ketika ia sedang menunggu bus di salah satu halte. 

Ia terlihat basah kuyup. Memang hari itu hujan deras tengah mengguyur kota. 

Aku terduduk lemas di sampingnya, menatap jalanan yang mulai tergenang air hujan. Sekilas ia menoleh padaku. Akupun menoleh padanya. Namun dia hanya diam saja.

Akhirnya kuberanikan diri saja mengajak dia bicara terlebih dulu. Awalnya ia cuek saja. Tapi lama lama, pergerakan kakiku mencuri perhatiannya. Ia ambil lipatan kertas yang kuinjak di bawah kakiku.

Sejenak kulihat ia membaca dengan cepat. 

Ketika bus yang ditunggu akhirnya datang, tiba-tiba ia merangkulku, dan menggamitku bersamanya menuju bus. 

Sepanjang perjalanan, kami hanya saling diam, menatap kosong pada jendela bus yang basah oleh hempasan air hujan.

Ternyata ia membawaku ke sebuah bangunan berlantai dua, kulihat sekilas plang yang berdiri tegak di depannya, "Edwar Technology".

Ia membawaku masuk ke dalam.
Di dalam ramai sekali, rupanya lantai satu dipakai sebagai warnet.

Aku pun mengikutinya yang berjalan terus menaiki tangga menuju lantai dua. 
Dengan lembut, ia mengeringkan badanku yang basah kuyup.

Kulihat seulas senyum menghiasi bibirnya.
Ah, sungguh, saat itu aku langsung jatuh hati padanya.

Papi terkenal sangat pendiam, ia hanya berbicara ketika ia merasa perlu bicara. Kata katanya selalu tegas, namun ia sungguh pria pekerja keras. Ia tak pernah mengenal putus asa.

Suatu kali ia pernah bercerita padaku, bagaimana kecewanya ia, ketika file file berisi materi dan rumus rumus penting untuk penelitiannya tiba tiba hilang, karena komputer yang ia gunakan rusak total.

Hari itu ia begitu frustasi, kecewa dan sedih. Usahanya bertahun tahun hilang dalam sekejap.

Namun jiwa juangnya belum sempurna padam. Pada akhirnya ia bangkit. Mengumpulkan kembali catatan catatan rumus penting yang sempat ia simpan, menyusunnya kembali dengan beberapa penambahan  hingga kembali utuh.

Dan dunianya kembali ceria.

Keceriaannya bertambah tambah saat ia berhasil membuatkan suatu alat untuk kakaknya, Yuk Warni ia memanggilnya.

"Yuk, aku sudah membuat satu alat, namun ini baru, belum pernah ada yang mencobanya. Yuk Warni bersedia memakainya?" tanyanya kala itu lewat ponsel ketika percobaan pertamanya, sebuah alat "pengobatan" kanker ia tawarkan pada Yuk Warni yang oleh dokter divonis kanker payudara stadium 4, yang hanya bisa bertahan hidup maksimal dua tahun tanpa kemoterapi.

Wajahnya tampak lega, walau belum sepenuhnya ceria. Sepertinya Yuk Warni mengiyakan permintaannya.

Itulah cikal bakal bergantinya ruang bawah dari sekedar warnet menjadi "tempat praktek".

Setelah alat yang ia ciptakan terbukti berhasil membunuh sel kanker pada Yuk Warni, seiring berjalannya waktu, cerita demi cerita bergulir dari mulut ke mulut. Hingga Papi War di "serbu" para penderita kanker lainnya yang sudah kehilangan harapan, karena dokter pun sudah menyatakan angkat tangan. Mereka begitu menggantungkan harapan pada Papi War.

Karena pada dasarnya, Papi ini berhati lembut dan mudah bersimpati, akhirnya ia pun "mengabulkan" keinginan beberapa peminat yang semakin hari semakin melimpah.

Namun, aku tidak terlalu senang. Karena kini Papi War menjadi sangat sibuk. Pagi, siang, malam. Ia seolah tak punya waktu untuk bersitirahat. Apalagi bertemu denganku.

Ia mulai abai denganku. Ia terlalu sibuk.
Akupun dititipkan pada pegawainya. Sungguh, aku kesepian. Aku hanya ingin kembali menjadi pendengar setianya, menjadi penghibur dikala ia terlihat penat. 

Namun prahara itu kembali menyapa. Praktek yang ia lakukan mendapatkan "teguran" keras dari pihak medis.

Alatnya dikecam tak layak, karena tidak melewati prosedur medis yang semestinya. 

Ia tampak sedih dan kecewa. Namun aku senang. Karena artinya, ia akan kembali banyak waktu untukku.

Perlahan aku mendekat, mengelus kakinya dengan badanku. Ia menoleh dan tersenyum.

"Oh lintang, sudah lama ya kita tak berbincang. Sejujurnya begitu banyak cerita yang ingin kubagi padamu. Entahlah, hanya dengan berbicara padamu, rasanya tumpukan 'sampah' yang menyesakkan dada ini seolah meluruh."

Di usapnya kepalaku hingga leher dengan lembut. Kubalas belaiannya dengan menyundulkan kepalaku pelan ke tangannya. Akupun berbaring manja di pangkuannya.

Sebuah ketukan memaksanya menoleh ke arah pintu yang sedikit terbuka.

"Wah wah, Lintang... kau memang istimewa. Lihatlah wajah kusut profesor doktor ini seketika kembali segar setelah dekat dekat denganmu."

Suara nyaring Ayah Edi, begitu aku menyapa pria tinggi ramping di hadapanku ini, yang adalah sahabat karib sekaligus partner Papi War saat merintis Edwar Technology, sejenak menyita perhatiannya.
For your information, edwar itu singakatan dari Edi-Warsito.

"Ada kabar apa, Ed?" tanya Papi penuh minat.

Ayah Edy merunduk, mendekatkan wajahnya pada ku. Ia merebutku dari pangkuan Papi War, sambil mengangkat tubuhku sejajar wajahnya, dengan tatapan lembut ia pun berkata, "Kucing manis, ini pembicaraan rahasia pria dewasa, kamu turun dulu sebentar ya sayang..."

Papi War pun tertawa terbahak. "Ada-ada saja kau Ed. Bicaralah. Tenang saja, Lintang ini tangan kananku, ia pasti akan menjaga rahasia dengan aman," ucapnya santai, menanggapi gurauan Ayah Edi yang ikut terbahak.

"Ya, dua orang dewasa ini rupanya sedang mengolokku, lihat saja nanti pembalasanku," ucapku geram, yang mungkin hanya terdengar sebagai eongan panjang tanpa makna bagi kedua pria itu.
Dan keduanya semakin kencang tertawa.

Ya, begitulah nasib kucing sepertiku.
Akhirnya kuputuskan untuk turun saja ke lantai satu. Memberikan kesempatan pada kedua pria itu membicarakan "rahasia pria dewasa" nya tanpa gangguanku.


#ReadingChallengeOdop #Tugaslevel2 #level2tantangan2


Terimakasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. 🙏😊

Komentar

  1. Oalah...kirain siapa to..... Baiklah, sebagai meong yang baik, biarkan dua lelaki dewasa itu menyelesaikan urusannya.

    BalasHapus
  2. haduh..haduh...aku baru tersadar yang sedang berbicara ini adalah kucing ketika sudah sampai di pertengahan tulisan loh mbak...keren ah, mantap hehehehe

    BalasHapus
  3. Waduuh, ternyata kucing tho. Keren ih fiksinya

    BalasHapus
  4. Oh my god, kucing tuh mbak

    Keren banget mbak ceritanya

    BalasHapus
  5. Kelihatan sekali besarnya cinta ayah kepada anaknya :)

    BalasHapus
  6. Seru2 baca dari awal ampe akhir ehh kok dielus2 ampe leher mulai mencurigakan ternyata kucing toh haha

    BalasHapus
  7. Hahaha bagus mbak twist fiksinya, ternyata cerita kucing setia toh. 😅

    BalasHapus
  8. kirain tadi tuh robot, kucing ternyata :D
    mantap nih Mbak imajinasinya :)

    BalasHapus
  9. Wah...lintang ternyata kucing...😂😂 btw ini tentang pak warsito penemu alat utk kanker itu ya? Terus kelanjutannya gmn? Padahal alatnya sudah byk membantu para penderita kanker ya?

    BalasHapus
  10. Di pertengahan baru saya tebak sepertinya tokoh si Aku ini bukan orang, mungkin benda atau bisa jadi orang. Ditambah dengan deskripsi bulu saya jadi bisa jelas menebaknya dan ternyata benar ya tokoh si aku ini adalah meong.

    Cerita yang menarik. Sepertinya masih ada lanjutannya ya mbak?

    BalasHapus
  11. Senyum2 sendiri ketika satu persatu kalimat menguak tentang jatidiri Lintang.😊. Cerita yang bagus Mbak, keren untuk dikembangkan

    BalasHapus
  12. Gubrak, kirain apaan,,,tenyata cat...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenalkan Literasi Sejak Dini Lewat Program 'Duta Baca Cilik'

Sejak tujuh hari yang lalu, saya telah mendaftarkan Abang dalam kegiatan literasi bertajuk 'Duta Baca Cilik' yang infonya saya dapatkan melalui sebuah postingan di Facebook.  Begitu membaca, saya langsung tertarik untuk ikut serta, walaupun saya belum yakin, apakah bisa konsisten mengikuti rule yang diberlakukan, karena kebetulan pada saat yang bersamaan, saya sedang memegang banyak amanah yang harus ditunaikan. Namun, demi menemukan kembali ritme kebersamaan bersama duo krucil, saya pun 'menerima' tantangan ini. Dan, sejak Senin lalu, resmilah kami sebagai bagian dari peserta 'Duta Baca Cilik'. Sebuah kegiatan literasi, dimana, kami, para peserta, diwajibkan untuk membaca atau membacakan buku setiap hari.  Sebuah gerakan, yang memiliki tujuan untuk saling mendukung dan memotivasi para Ibunda dalam mengenalkan literasi sejak dini dengan pembiasaan membaca / membacakan buku setiap hari kepada buah hatinya. Bagi saya, ini kesempatan em

Menggali Potensi Diri dengan Menulis Antologi

Pict: Pixabay Bismillahirrohmaanirrohiim... Tahun ini adalah tahunnya panen buku antologi. Huaaa... ini bahagianya campur-campur sih. Antara senang tapi gemes, soalnya perbukuan ini kok ya launchingnya hampir berbarengan... *kekepindompet Terlepas dari itu, ya pastinya saya sangat bersyukur dong, sekaligus bangga, ternyata saya bisa mengalahkan bisik ketakutan dalam diri yang merasa tak mampu, malas hingga cemas. Bisa nggak ya? Bagus nggak ya? Laku nggak ya? *ups Sebenarnya, dari awal, tujuan saya ikut berkontribusi dalam even nulis buku bareng ini, hanya karena ingin punya karya, yang kelak bisa juga membuat saya, setidaknya merasa bangga dan bersyukur pernah berkontribusi dalam membagikan kemanfaatan dari apa yang saya miliki.  Entah pengetahuan walau cuma seuprit, atau pengalaman yang baru seumur jagung, atau sekedar curahan hati yang bisa diambil hikmahnya oleh yang membaca. *semoga 🤲 Makanya, saat launching buku, saya tidak ngoyo untuk promosi. Atau mung