Langsung ke konten utama

Siklus Perjuangan


Jika ingin sukses, maka harus siap gagal. Itu kuncinya.  

Mengapa?

Karena sejatinya, kegagalan dan kesuksesan merupakan bagian dari siklus perjuangan. 

Mau tidak mau, suka tidak suka, untuk mencapai titik kesuksesan, kita pasti akan melewati dahulu tangga kegagalan. 

Hanya saja, siklus perjuangan ini bersifat eksklusif. Setiap orang mempunyai siklusnya sendiri, dengan pola yang random pula.

Sehingga kita tidak bisa memprediksi dengan tepat, berapa kali tahap gagal yang harus kita lewati untuk kemudian menjejaki titik kesuksesan.

Mungkin saja bagi dia, cukup sekali gagal, bisa langsung ke tahap sukses, namun bagi saya butuh berpuluh kali gagal, hingga akhirnya bisa mencicipi takdir sukses.

Untuk itulah, diperlukan kegigihan dan keteguhan dalam sebuah perjuangan. 

Karena, bisa saja jatah gagal kita sepuluh kali, sebelum kemudian menjejak tangga kesuksesan, namun karena kita sudah kadung goyah dan menyerah pada jatah ke lima, maka kesempatan kita untuk sukses pun menjadi semakin menjauh.

Jika kita terlanjur menyerah sebelum jatah gagal kita 'habis', maka ketika kita ingin kembali ke jalur perjuangan, kita akan melalui kembali siklusnya mulai dari kegagalan pertama. Artinya, akan semakin banyak jatah gagal kita, karena kita terus saja mengulang dari awal siklus.


Bagaimana jika gagal?
Jika kegagalan adalah bagian dari siklus perjuangan yang pasti kita temui, bergantian dengan kesuksesan, maka, sikap terbaik yang bisa kita lakukan dalam masa penantian pergantian adalah dengan penerimaan utuh.

Jika gagal, kembali bangkit, gagal lagi, bangkit lagi, gagal lagi, bangkit lagi, begitu seterusnya hingga jatah gagal kita 'habis', dan pada akhirnya kita pun bisa mencicipi kesuksesan.

Maknailah kegagalan sebagai media pembelajaran. Artinya, yakinilah, dari sebuah kegagalan pasti ada hikmah yang bisa kita petik sebagai bekal untuk melangkah melewati kegagalan berikutnya, sebelum akhirnya kita tiba di titik kesuksesan.

Dan ketika sudah di tahap sukses, ya harus siap gagal lagi. Artinya, ketika jatah sukses kita habis, maka kita harus siap menempuhi siklus berikutnya.

Ya, seperti itu.

Karena hidup adalah perjuangan, dan kegagalan dan kesuksesan menjadi bagian dari siklus perjuangan, maka dalam kehidupan pasti kita akan selalu bersinggungan dengan itu. 

Jangan takut gagal, karena sesungguhnya kegagalan pun hanya sebuah siklus yang pasti akan berganti, dan jangan pula angkuh dalam sukses, karena kesuksesan pun merupakan bagian dari siklus perjuangan yang kelak akan tergantikan.

Tidak ada kekekalan kecuali Dia. Maka, tujulah Dia, dalam setiap ikhtiar menempuhi siklus kehidupan. Karena gagal atau sukses hanyalah media yang harusnya kita gunakan dalam menjalani peran kita sebagai hamba, dalam rangka meraih cinta dan ridho-Nya. 

Jika kegagalan justru mengantarkan kita pada ketaqwaan, maka sejatinya itulah kesuksesan yang sebenarnya.

Pun sebaliknya, ketika kesuksesan duniawi justru membuat kita semakin 'hampa', itulah sejatinya kegagalan yang sebenarnya.

Maka, dalam kegagalan ataupun kesuksesan, jadikanlah itu sebagai media untuk semakin mendekat pada-Nya. 

Karena kesuksesan terbesar kita adalah ketika kita mendapat ridho dan syurga-Nya, bukan?

Wallahu 'alam bishawab...

#30DJ2


Terimakasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. 🙏😊

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenalkan Literasi Sejak Dini Lewat Program 'Duta Baca Cilik'

Sejak tujuh hari yang lalu, saya telah mendaftarkan Abang dalam kegiatan literasi bertajuk 'Duta Baca Cilik' yang infonya saya dapatkan melalui sebuah postingan di Facebook.  Begitu membaca, saya langsung tertarik untuk ikut serta, walaupun saya belum yakin, apakah bisa konsisten mengikuti rule yang diberlakukan, karena kebetulan pada saat yang bersamaan, saya sedang memegang banyak amanah yang harus ditunaikan. Namun, demi menemukan kembali ritme kebersamaan bersama duo krucil, saya pun 'menerima' tantangan ini. Dan, sejak Senin lalu, resmilah kami sebagai bagian dari peserta 'Duta Baca Cilik'. Sebuah kegiatan literasi, dimana, kami, para peserta, diwajibkan untuk membaca atau membacakan buku setiap hari.  Sebuah gerakan, yang memiliki tujuan untuk saling mendukung dan memotivasi para Ibunda dalam mengenalkan literasi sejak dini dengan pembiasaan membaca / membacakan buku setiap hari kepada buah hatinya. Bagi saya, ini kesempatan em

Menggali Potensi Diri dengan Menulis Antologi

Pict: Pixabay Bismillahirrohmaanirrohiim... Tahun ini adalah tahunnya panen buku antologi. Huaaa... ini bahagianya campur-campur sih. Antara senang tapi gemes, soalnya perbukuan ini kok ya launchingnya hampir berbarengan... *kekepindompet Terlepas dari itu, ya pastinya saya sangat bersyukur dong, sekaligus bangga, ternyata saya bisa mengalahkan bisik ketakutan dalam diri yang merasa tak mampu, malas hingga cemas. Bisa nggak ya? Bagus nggak ya? Laku nggak ya? *ups Sebenarnya, dari awal, tujuan saya ikut berkontribusi dalam even nulis buku bareng ini, hanya karena ingin punya karya, yang kelak bisa juga membuat saya, setidaknya merasa bangga dan bersyukur pernah berkontribusi dalam membagikan kemanfaatan dari apa yang saya miliki.  Entah pengetahuan walau cuma seuprit, atau pengalaman yang baru seumur jagung, atau sekedar curahan hati yang bisa diambil hikmahnya oleh yang membaca. *semoga 🤲 Makanya, saat launching buku, saya tidak ngoyo untuk promosi. Atau mung

Lintang, Sang Penghibur

Pixabay Hai namaku Lintang.  Ini kisahku dengan seseorang yang sangat aku sayangi... Orang-orang mengenalnya sebagai penemu alat pembunuh kanker yang kini sedang menjadi pembicaraan banyak kalangan. Katanya dia bergelar Profesor Doktor. Tapi ia memperkenalkan diri sebagai 'War' padaku saat kita pertama kali berbincang. Karena kupikir ia terlihat sangat dewasa, dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya, memberi kesan begitu 'pintar', maka kuputuskan untuk memanggilnya "Papi War". Namun, tahukah kalian, pertemuan pertama kali dengannya adalah ketika ia sedang menunggu bus di salah satu halte.  Ia terlihat basah kuyup. Memang hari itu hujan deras tengah mengguyur kota.  Aku terduduk lemas di sampingnya, menatap jalanan yang mulai tergenang air hujan. Sekilas ia menoleh padaku. Akupun menoleh padanya. Namun dia hanya diam saja. Akhirnya kuberanikan diri saja mengajak dia bicara terlebih dulu. Awalnya ia cuek saja. Ta