Langsung ke konten utama

Surat Kecil untuk Hujan


Kemarau tahun ini, hadir dalam waktu yang cukup panjang. Kehabisan air menjadi berita dimana-mana. Bahkan di tempat yang secara logika seharusnya menjadi "lumbung air", kini justru tak mendapat pasokan air.

Ketidakhadiran hujan yang melebihi batas prediksi, membuat sebagian bumi, khususnya di wilayah Nusantara ini seakan panas membakar. Suhu udara meningkat. Bahkan saat malam jelang pagi, yang biasanya membuat tubuh gemetaran karena dingin, kini terasa sumuk dan gerah.

Ya, setelah lama tak bersua, kini kita merengek menginginkan pertemuan kembali dengan kucuran air dari langit. Berharap tetumbuhan yang mulai mengering, kembali menampakkan geliat kehidupan. Berharap sumur yang semakin menyusut, kembali digenangi air. Berharap suhu udara yang terasa semakin memanas kembali pada titik sejuk.

Tak henti mulut-mulut yang dulu kerap melempar caci pada hujan yang hadir tanpa henti, kini mengucap doa lirih, mengharap hujan segera turun hingga deras.

Tak henti manusia-manusia yang dulu tak peduli dengan kelestarian alam, kini mulai terpekur, meratapi ketiadaan air yang ternyata membuat hari terasa pengap, sesak dan dahaga.

Maka, ketika air langit yang lama dinanti-nanti itu akhirnya menampakkan batang hidungnya, manusia pun bersorak gembira. Jemari lentik mereka segera menyentuh tuts gawai, mengabarkan pada dunia, bahwa hujan mulai turun di tempatnya.

Namun, sayang, rupanya hujan belum mau hadir berlama-lama. Esoknya, ia kembali 'mogok'. Euforia manusia yang sempat mengemuka, kembali harus menelan pil pahit. Hujan tak datang lagi hingga belasan hari sejak 'status' hujan yang ia kirimkan lewat gawai itu telah dibaca puluhan, ratusan bahkan mungkin ribuan orang.

Kehadiran hujan pun kini tak mudah diprediksi. Bahkan pada bulan yang lazimnya sudah masuk musim penghujan sekalipun, ia tetap enggan menjatuhkan bening airnya di atas bumi ini yang sudah terasa begitu kering.

Ah, hujan, apakah engkau marah pada bumi ini? 
Bukan! 
Apakah engkau marah pada manusia yang kerap acuh dengan kelestarian alam ini?
Mungkin!

Ya, karena terlalu asyik dengan kemudahan dan kelimpahan yang didapat, kita melupa untuk menjaga. Kita abai untuk mengelola secara bijak. Kita tak pandai berhemat. Kita tak becus memperhitungkan kebutuhan dan ketersediaan air secara seimbang.

Bahkan hal sekecil membuang sampah pada tempatnya pun, kerap kita abaikan. Kita seolah tak lagi peduli dengan itu. Toh semua orang melakukannya. Mengapa hanya kita yang harus peduli? Begitukah pikirmu?

Kemudian setiap kepala pun berpikir serupa. Satu sampah yang kau anggap 'hanya', kini menggunung tinggi. 

Dan ketika akhirnya hujan datang, membawa aliran air yang melimpah, banjir pun tak terelakkan. Kemudian kita sama-sama kembali mencaci hujan. Hingga kelak, hujan kembali merajuk, ia tak lagi sudi berbagi kesejukan dengan manusia yang tamak dan culas.

Dan kini, kita pun mendapatkan ganjaran atas semua perilaku semena-mena kita terhadap alam.

Hujan pun enggan bertandang, ia tetap bersembunyi di balik awan putih, berlindung dari sengat mentari yang hadir begitu nyalang. Dan kita, hanya terus mengeluh. Merutuki langit yang tak jua sudi berbagi kesejukan. Padahal, kita lah yang menyebabkan siklus alami bumi menjadi semrawut.

Lalu, masihkah kita bertahan dalam keegoisan? Mengharap kebaikan dari alam, namun kita terus memperlakukannya dengan buruk.

Bukankah suatu akibat hanya akan terjadi karena ada sebab?

Hujan, hujan, sudilah kiranya engkau kembali bertandang di tanah gersang... Kami merinduimu.
Merindu bau petrichor yang menghangatkan hati.
Merindu derai tawa anak-anak yang gembira menari di bawah rintikmu.
Merindu kalimat doa meluncur dari mulut-mulut kami tatkala engkau menyapa:
Allahumma shoyyiban nafi'an.

#NonfiksiOdop
#Day7

Terima kasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. 🙏😊

Komentar

  1. suka deh sama majasnya. seolah hujan ini hidup punya perasaan. suka juga dengan sedemikian rupa cara mengatur tulisannya, sehingga penyampaian tujuan dari tulisan ini agar kita sadar dan bisa introspeksi diri tercapai.

    kerenn

    BalasHapus
  2. Hmm.. sampe sang hujan dibikinin puisi, mantap mbak..

    BalasHapus
  3. Semalam hujan mengguyur Surabaya tapi tak lama. Aku sampai berjanji jika hujan turun dengan derasnya aku takkan mengeluh

    BalasHapus
  4. Semoga segera berlalu kekeringan ini aamiinn

    BalasHapus
  5. Ya Allah turunkanlah hujan. Aamiin

    BalasHapus
  6. Aamiin ya Allaah. Alhamdulillah ketika baca ini, Allah juga sedang menurunkan hujan

    BalasHapus
  7. Moga hujan turun dan membawa berkah..

    BalasHapus
  8. alhamdulillah, pas komen pas hujan, semoga selalu membawa keberkahan

    BalasHapus
  9. Alhamdulillah di sini sudah sering hujan Mbak

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenalkan Literasi Sejak Dini Lewat Program 'Duta Baca Cilik'

Sejak tujuh hari yang lalu, saya telah mendaftarkan Abang dalam kegiatan literasi bertajuk 'Duta Baca Cilik' yang infonya saya dapatkan melalui sebuah postingan di Facebook.  Begitu membaca, saya langsung tertarik untuk ikut serta, walaupun saya belum yakin, apakah bisa konsisten mengikuti rule yang diberlakukan, karena kebetulan pada saat yang bersamaan, saya sedang memegang banyak amanah yang harus ditunaikan. Namun, demi menemukan kembali ritme kebersamaan bersama duo krucil, saya pun 'menerima' tantangan ini. Dan, sejak Senin lalu, resmilah kami sebagai bagian dari peserta 'Duta Baca Cilik'. Sebuah kegiatan literasi, dimana, kami, para peserta, diwajibkan untuk membaca atau membacakan buku setiap hari.  Sebuah gerakan, yang memiliki tujuan untuk saling mendukung dan memotivasi para Ibunda dalam mengenalkan literasi sejak dini dengan pembiasaan membaca / membacakan buku setiap hari kepada buah hatinya. Bagi saya, ini kesempatan em

Menggali Potensi Diri dengan Menulis Antologi

Pict: Pixabay Bismillahirrohmaanirrohiim... Tahun ini adalah tahunnya panen buku antologi. Huaaa... ini bahagianya campur-campur sih. Antara senang tapi gemes, soalnya perbukuan ini kok ya launchingnya hampir berbarengan... *kekepindompet Terlepas dari itu, ya pastinya saya sangat bersyukur dong, sekaligus bangga, ternyata saya bisa mengalahkan bisik ketakutan dalam diri yang merasa tak mampu, malas hingga cemas. Bisa nggak ya? Bagus nggak ya? Laku nggak ya? *ups Sebenarnya, dari awal, tujuan saya ikut berkontribusi dalam even nulis buku bareng ini, hanya karena ingin punya karya, yang kelak bisa juga membuat saya, setidaknya merasa bangga dan bersyukur pernah berkontribusi dalam membagikan kemanfaatan dari apa yang saya miliki.  Entah pengetahuan walau cuma seuprit, atau pengalaman yang baru seumur jagung, atau sekedar curahan hati yang bisa diambil hikmahnya oleh yang membaca. *semoga 🤲 Makanya, saat launching buku, saya tidak ngoyo untuk promosi. Atau mung

[DIY] Tiga Kreasi Mainan Edukasi Berbahan Flanel

Ketika menjadi Ibu, secara otomatis kita dituntut untuk lebih kreatif demi terselenggaranya pendidikan dan pengasuhan anak yang menyenangkan.  Kita dituntut untuk cakap berinovasi, menciptakan permaianan, ataupun kegiatan yang mendukung tumbuh kembang anak sekaligus membuat mereka merasa nyaman dan antusias. Sebagai Ibu, tentu saja kita menginginkan yang terbaik untuk buah hati kita. Adakalanya kita yang dulunya "malas", "tidak cakap", dan cuek tetiba harus menjadi seseorang yang baru, yang menguasai apapun secara otodidak. Hanya karena tekad yang kuat, menjadikan kita teguh memperjuangkan itu semua, sebagai bentuk tanggung jawab dan kewajiban hakiki sebagai madrasah utama bagi buah hati tercinta. Pada kesempatan kali ini, saya akan sedikit berbagi tentang apa yang bisa kita kreasikan untuk membuat media bermain yang menyenangkan sekaligus "mencerdaskan" yang bisa kita buat secara mandiri, alias DIY (Do It Yourself) . Berikut beberapa cont