Kemarau tahun ini, hadir dalam waktu yang cukup panjang. Kehabisan air menjadi berita dimana-mana. Bahkan di tempat yang secara logika seharusnya menjadi "lumbung air", kini justru tak mendapat pasokan air.
Ketidakhadiran hujan yang melebihi batas prediksi, membuat sebagian bumi, khususnya di wilayah Nusantara ini seakan panas membakar. Suhu udara meningkat. Bahkan saat malam jelang pagi, yang biasanya membuat tubuh gemetaran karena dingin, kini terasa sumuk dan gerah.
Ya, setelah lama tak bersua, kini kita merengek menginginkan pertemuan kembali dengan kucuran air dari langit. Berharap tetumbuhan yang mulai mengering, kembali menampakkan geliat kehidupan. Berharap sumur yang semakin menyusut, kembali digenangi air. Berharap suhu udara yang terasa semakin memanas kembali pada titik sejuk.
Tak henti mulut-mulut yang dulu kerap melempar caci pada hujan yang hadir tanpa henti, kini mengucap doa lirih, mengharap hujan segera turun hingga deras.
Tak henti manusia-manusia yang dulu tak peduli dengan kelestarian alam, kini mulai terpekur, meratapi ketiadaan air yang ternyata membuat hari terasa pengap, sesak dan dahaga.
Maka, ketika air langit yang lama dinanti-nanti itu akhirnya menampakkan batang hidungnya, manusia pun bersorak gembira. Jemari lentik mereka segera menyentuh tuts gawai, mengabarkan pada dunia, bahwa hujan mulai turun di tempatnya.
Namun, sayang, rupanya hujan belum mau hadir berlama-lama. Esoknya, ia kembali 'mogok'. Euforia manusia yang sempat mengemuka, kembali harus menelan pil pahit. Hujan tak datang lagi hingga belasan hari sejak 'status' hujan yang ia kirimkan lewat gawai itu telah dibaca puluhan, ratusan bahkan mungkin ribuan orang.
Kehadiran hujan pun kini tak mudah diprediksi. Bahkan pada bulan yang lazimnya sudah masuk musim penghujan sekalipun, ia tetap enggan menjatuhkan bening airnya di atas bumi ini yang sudah terasa begitu kering.
Ah, hujan, apakah engkau marah pada bumi ini?
Bukan!
Apakah engkau marah pada manusia yang kerap acuh dengan kelestarian alam ini?
Mungkin!
Ya, karena terlalu asyik dengan kemudahan dan kelimpahan yang didapat, kita melupa untuk menjaga. Kita abai untuk mengelola secara bijak. Kita tak pandai berhemat. Kita tak becus memperhitungkan kebutuhan dan ketersediaan air secara seimbang.
Bahkan hal sekecil membuang sampah pada tempatnya pun, kerap kita abaikan. Kita seolah tak lagi peduli dengan itu. Toh semua orang melakukannya. Mengapa hanya kita yang harus peduli? Begitukah pikirmu?
Kemudian setiap kepala pun berpikir serupa. Satu sampah yang kau anggap 'hanya', kini menggunung tinggi.
Dan ketika akhirnya hujan datang, membawa aliran air yang melimpah, banjir pun tak terelakkan. Kemudian kita sama-sama kembali mencaci hujan. Hingga kelak, hujan kembali merajuk, ia tak lagi sudi berbagi kesejukan dengan manusia yang tamak dan culas.
Dan kini, kita pun mendapatkan ganjaran atas semua perilaku semena-mena kita terhadap alam.
Hujan pun enggan bertandang, ia tetap bersembunyi di balik awan putih, berlindung dari sengat mentari yang hadir begitu nyalang. Dan kita, hanya terus mengeluh. Merutuki langit yang tak jua sudi berbagi kesejukan. Padahal, kita lah yang menyebabkan siklus alami bumi menjadi semrawut.
Lalu, masihkah kita bertahan dalam keegoisan? Mengharap kebaikan dari alam, namun kita terus memperlakukannya dengan buruk.
Bukankah suatu akibat hanya akan terjadi karena ada sebab?
Hujan, hujan, sudilah kiranya engkau kembali bertandang di tanah gersang... Kami merinduimu.
Merindu bau petrichor yang menghangatkan hati.
Merindu derai tawa anak-anak yang gembira menari di bawah rintikmu.
Merindu kalimat doa meluncur dari mulut-mulut kami tatkala engkau menyapa:
Allahumma shoyyiban nafi'an.
#NonfiksiOdop
#Day7
Terima kasih sudah berkunjung, boleh jejak di kolom komentar ya jika berkenan. 🙏😊
suka deh sama majasnya. seolah hujan ini hidup punya perasaan. suka juga dengan sedemikian rupa cara mengatur tulisannya, sehingga penyampaian tujuan dari tulisan ini agar kita sadar dan bisa introspeksi diri tercapai.
BalasHapuskerenn
Hmm.. sampe sang hujan dibikinin puisi, mantap mbak..
BalasHapusSemoga hujan segera turun..
BalasHapusBagus puisinya..😊
BalasHapusSemoga segera diturunkan rahmatNya
BalasHapusSemalam hujan mengguyur Surabaya tapi tak lama. Aku sampai berjanji jika hujan turun dengan derasnya aku takkan mengeluh
BalasHapusSemoga segera berlalu kekeringan ini aamiinn
BalasHapusYa Allah turunkanlah hujan. Aamiin
BalasHapusAamiin ya Allaah. Alhamdulillah ketika baca ini, Allah juga sedang menurunkan hujan
BalasHapusMoga hujan turun dan membawa berkah..
BalasHapusalhamdulillah, pas komen pas hujan, semoga selalu membawa keberkahan
BalasHapusAlhamdulillah di sini sudah sering hujan Mbak
BalasHapus