Langsung ke konten utama

sekelebat pikiran

070713

Ini bukan jurnal catatan perjalanan, walaupun benar, ini adalah coretan yang terinspirasi dari suatu perjalanan biasa melewati tol cipularang.
Jangan mikir aneh-aneh yah, cerita dibalik tol cipularang ga musti horror atau mistis kawan. Ini hanya cerita  biasa dibalik perjalanan yang menyimpan fakta dan renungan luar biasa. (mungkin…^_^)
Ini hanya kejadian demi kejadian biasa yang berlangsung seperti biasa… yang saya coba rangkum dalam celotehan (semoga luar) biasa…^_^
Dan karena ini hanya catatan (ga) penting yang terlintas dalam sekelebat pikiran saya, maka mari kita mulai dengan santai dan take it easy kawan….. :P

Kota bandung, kota yang dikenal dengan udaranya yang dingin (pake super biar we o we, :P) dengan berat hati harus saya tinggalkan. Pagi itu dibalut dinginya udara bandung, bis yang saya tumpangi bersiap melaju menuju tol cipularang.
Memasuki gerbang tol, saya langsung disuguhi panorama langit yang cerah ceria. Yang selalu saya nikmati setiap kali melewati jalanan sepanjang tol ini. Tak pernah bosan memandangi langit birunya, berhias awan putih bersih dan empuk (keliatanya), hamparan hijau sawah, dan barisan bukit yang menjulang…






Saking menikmatinya, pandangan saya pun tak teralihkan, hingga saya tersadarkan, semakin dalam saya saksikan, maka semakin terlihat bentangan langit itu seolah memiliki lapisan…
Lapisan atas adalah bentangan langit biru dengan taburan awan putih yang jernih, sedangkan lapisan di bawahnya, yang tepat menaungi barisan bangunan rumah hunian dan bangunan lain di sekelinglingnya, tampak lebih keruh, seperti langit yang mendung..
Tetiba saya (iseng) mulai menganalisis. Mungkin fenomena ini berhubungan dengan pencemaran udara disekitar tempat yang dekat dengan bangunan, baik rumah hunian maupun industry yang dengan sengaja ataupun tidak membuang limbah ke lingkungan sekitar dengan sembarangan.
Teknologi dan peradaban, memang bagai dua sisi mata pisau yang memiliki “efek terselubung” . Dari sisi kecepatan  dan kepraktisan, iya, tentu saja kita dimudahkan dan sangat terbantu dengan adanya teknologi. Namun di balik kemajuan itu, tak lantas membuat “mereka” bersahabat dengan alam.
Lihat saja berbagai kerusakan dan ketidakseimbangan alam yang kian terasa dampaknya.
Udara tercemar, lapisan ozon menipis, iklim yang ekstrim, sumber air bersih yang semakin minim, bencana banjir yang seolah menjadi rutinitas yang pasti terjadi, longsor, perkembangan penyakit yang makin hari (bukan cuma namanya ternyata) makin aneh dan mengerikan.
Apakah dengan semakin majunya peradaban dunia malah semakin membuat alam menjadi kian terpuruk?
Entahlah, toh ini hanya sekelebat pikiran saya saja, yang menyeruak di tengah menikmati keindahan panorama sepanjang tol cipularang.^^

Perjalanan terus berlanjut, dan bentangan langit biru masih setia menaungi bis yang melaju cepat meninggalkan kota bandung yang dingin. Sejenak pandangan saya tertumpu pada satu titik, dimana terlihat dua sosok manusia (sepertinya pedagang asongan, atau pengamen?) yang tengah duduk asik menikmati hembusan angin sepoi-sepoi dibawah naungan rindang pohon yang teduh.
Sekelebat pikiran kembali menelusup dalam kepala saya.
Sungguh, alam ternyata begitu baik, “meminjamkan” keteduhannya tanpa meminta bayaran.
Pohon rindang, tertimpa cahaya mentari, menimbulkan bayangan yang meneduhkan. Dan kita, hanya tinggal menikmati keteduhannya.
Terlihat sederhana bukan?
Pernah dibayangkan tidak, seandainya si pohon tadi menolak kehadiran kita?
Dan apa yang kita tidak (mau) tahu adalah bagaimana sampai akhirnya si pohon itu bisa tumbuh besar dan meminjamkan keteduhannya pada kita.
Seandainya kita bisa merasakan bagaimana perjuangan si pohon untuk tetap bertahan, bermula dari sebuah biji atau bibit yang kecil, yang terus bertumbuh menjadi pohon kecil, yang harus bertahan dari berbagai ancaman disekitarnya, mulai dari terpaan angin kencang, guyuran hujan deras, tangan-tangan jahil manusia yang tanpa rasa berdosa mencabut seenaknya, mencorat coret batangnya yang semakin membesar, menebangnya semaunya, merusak habitatnya.
Dan lihat, pohon itu bertahan, dan dengan “ikhlas” meminjamkan keteduhannya pada kita, melindungi kita dari sengatan mentari, tanpa dendam.
Akankah kita tega merusaknya?
Setelah kita (mau) tahu bagaimana beratnya “cobaan” mereka, bagaimana baiknya mereka menjaga ekosistem yang penting bagi keberlangsungan peradaban manusia,  bukankah sudah seharusnya kita lebih aware, dan berpikir berjuta kali sebelum menebang pohon dengan sembarangan, sebelum mengotori lingkungan dengan limbah sampah yang dibuang di sembarang tempat?
Entahlah, toh ini hanya sekelebat pikiran saya saja, yang menyeruak di tengah menikmati keindahan panorama sepanjang tol cipularang. ^_^

Kembali saya menikmati keindahan bentangan langit biru, hamparan hijau sawah dan taburan awan putih yang ringan melayang beriringan menambah keindahan langit pagi (menjelang siang) ini.
Saya selalu mencoba menikmati dan “mengabadikan” keindahannya, karena tak ada yang menjamin kurang dari sepuluh tahun ke depan, panorama ini tidak akan tergantikan oleh barisan hutan beton yang menjulang dengan pongah.
Dan setidaknya saat hal itu terjadi, saya masih memiliki “kenangan indah”. ^_^

Perjalanan masih jauh dari tujuan, dan seperti biasa, bahkan di jalan tol sekalipun tak bisa mengelak dari yang namanya macet. Dan yah, saya berusaha menikmatinya saja. ^_^
Bis yang saya tumpangi melaju perlahan, dan sesekali terhenti, sejenak kehidupan saya pun seolah terhenti. Namun ketika kehidupan saya terhenti itulah, saya bisa lebih leluasa menikmati “kehidupan lain” di luar sana.
Sesosok pria renta tengah asik memunguti botol-botol bekas air kemasan yang tercecer di sepanjang pinggiran jalan tol ini.
Dan sekelebat pikiran memaksa saya mengingat kembali bagaimana dengan angkuhnya saya seringkali meremehkan profesi mereka, merasa pekerjaan saya  lebih bermartabat, walau faktanya mereka malah terlihat lebih baik di mata saya sekarang.
Bagaimana mereka gigih berjuang mencukupi kebutuhan hidup tanpa meminta-minta dan tak peduli segala ocehan yang mendiskreditkannya, seolah dalam pikiranya hanya bekerja dengan ikhlas demi keluarga. Dan ketika saya “mengotori” alam, mereka dengan sigap “membersihkannya”.
Bukankah sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling banyak memberi manfaat, termasuk bagi keberlangsungan alam, terlepas dari apapun profesinya?
Entahlah, toh ini pun hanya sekelebat pikiran yang terlintas ketika terjebak dalam kemacetan di tol cipularang.

Macet ini seperti makanan yang dicampur formalin, tahan lama. Bis pun masih berjalan perlahan, dan sesekali terhenti. Dan ketika itulah kehidupan lain di luar sana kembali menggoda saya untuk kembali melontarkan sekelebat pikiran yang terus menyeruak tak terkendali.
Hamparan sawah terbentang, sepoi angin, dan hangat mentari membuat saya sedikit berkhayal untuk sejenak keluar dari situasi dalam bis yang dingin, dan “senyap”.

Tampak sesosok pria usia produktif yang tengah asik mencangkuli tanah sawahnya yang akan mulai ditanami padi lagi, di spot lain terlihat seorang bapak yang dengan semangat menyemproti padinya dengan pupuk, dan agak jauh dari spot tersebut, terlihat sekumpulan manusia yang tengah memanen padinya dengan sukacita.
Dan mentari pun begitu baik “mentransfer” energinya pada kita, pada para petani yang giat bekerja, dengan kehangatannya ia melindungi para petani dari terpaan dinginnya udara, melawan kemalasan dan memberi semangat  untuk segera menuntaskan pekerjaan sebelum mentari benar-benar menyengat tepat di atas ubun-ubunya.
Bukankah kejadian kecil ini menjadi luar biasa saat kita bisa menyadarinya penuh-penuh?
Entahlah, toh ini pun hanya sekelebat pikiran yang tetiba muncul di kepala saat kedinginan melanda dalam bis ber-AC.

Tak kunjung berakhir kemacetan menemani perjalanan saya di tol cipularang ini, dan “keajaiban” kembali menelingkup kekesalan saya pada bis yang jalannya semakin tersendat.
Di luar sana, kepakan burung-burung kecil (yang entah apa namanya), membuat saya terpana. Terbang melayang, hilir mudik melintasi kabel-kebel listrik di sepanjang pinggiran jalan tol, keceriaan seolah hanya milik mereka, tapi mau tak mau itu pun menulari saya. Tak hanya mereka ternyata yang tengah menikmati keceriaan, seekor capung melintas , menambah keceriaan , menyambut ramadhan yang segera menjelang kah? J
Tak hanya itu ternyata, keceriaan itu pun kembali saya dapati. Dan bahkan saya seolah tengah mengikuti tour keliling pusat penangkaran kupu-kupu.
Di sepanjang jalan, hanya berjarak beberapa meter dari spot satu ke spot lainnya, saya disuguhi tarian indah kupu-kupu beragam warna dan bentuk. Sungguh cantik.
Dan entah apa yang terjadi pada populasi mereka disini, seandainya pepohonan dan panorama alam ini di kemudian hari berganti menjadi hutan beton.
Tetiba saya membayangkan, seandainya saya adalah kupu-kupu itu, bagaimana perasaan saya ketika rumah saya tiba-tiba dihancurkan, habitat saya dileburkan, dan saya harus terpisah dari orang tua, kerabat dan sahabat saya.
Akankah pilihannya hanya dua?
Tetap bertahan dalam habitat baru, dengan konsekwensi semakin sulit memperoleh makanan, semakin sulit beradaptasi dalam lingkungan yang “berbeda”, dan semakin sulit mempertahankan hidup di tengah populasi manusia dan peradabanya yang tidak bersahabat dengan alam.
Ataukah saya harus pergi dan mencari tempat dan habitat yang lebih nyaman dan sesuai dengan kebutuhan hidup saya yang entah dimana dan entah masih ada atau tidak tempat seperti apa yang saya butuhkan.
Dan jika benar pilihanya hanya itu, maka kedua-duanya hanya akan perlahan-lahan “membunuh” eksistensi spesies saya di bumi, dan dalam waktu yang singkat populasi saya akan musnah dalam peradaban dunia.
Ironis yah?
Entahlah, toh itu kan hanya sekelebat pikiran yang meluncur ketika saya mulai bosan dengan kemacetan yang menghentikan sejenak “kehidupan” saya.


Dan… ah, sebaiknya saya sejenak memejamkan mata, berharap segera tiba di tempat tujuan saat mata saya kembali terjaga….

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenalkan Literasi Sejak Dini Lewat Program 'Duta Baca Cilik'

Sejak tujuh hari yang lalu, saya telah mendaftarkan Abang dalam kegiatan literasi bertajuk 'Duta Baca Cilik' yang infonya saya dapatkan melalui sebuah postingan di Facebook.  Begitu membaca, saya langsung tertarik untuk ikut serta, walaupun saya belum yakin, apakah bisa konsisten mengikuti rule yang diberlakukan, karena kebetulan pada saat yang bersamaan, saya sedang memegang banyak amanah yang harus ditunaikan. Namun, demi menemukan kembali ritme kebersamaan bersama duo krucil, saya pun 'menerima' tantangan ini. Dan, sejak Senin lalu, resmilah kami sebagai bagian dari peserta 'Duta Baca Cilik'. Sebuah kegiatan literasi, dimana, kami, para peserta, diwajibkan untuk membaca atau membacakan buku setiap hari.  Sebuah gerakan, yang memiliki tujuan untuk saling mendukung dan memotivasi para Ibunda dalam mengenalkan literasi sejak dini dengan pembiasaan membaca / membacakan buku setiap hari kepada buah hatinya. Bagi saya, ini kesempatan em

Menggali Potensi Diri dengan Menulis Antologi

Pict: Pixabay Bismillahirrohmaanirrohiim... Tahun ini adalah tahunnya panen buku antologi. Huaaa... ini bahagianya campur-campur sih. Antara senang tapi gemes, soalnya perbukuan ini kok ya launchingnya hampir berbarengan... *kekepindompet Terlepas dari itu, ya pastinya saya sangat bersyukur dong, sekaligus bangga, ternyata saya bisa mengalahkan bisik ketakutan dalam diri yang merasa tak mampu, malas hingga cemas. Bisa nggak ya? Bagus nggak ya? Laku nggak ya? *ups Sebenarnya, dari awal, tujuan saya ikut berkontribusi dalam even nulis buku bareng ini, hanya karena ingin punya karya, yang kelak bisa juga membuat saya, setidaknya merasa bangga dan bersyukur pernah berkontribusi dalam membagikan kemanfaatan dari apa yang saya miliki.  Entah pengetahuan walau cuma seuprit, atau pengalaman yang baru seumur jagung, atau sekedar curahan hati yang bisa diambil hikmahnya oleh yang membaca. *semoga 🤲 Makanya, saat launching buku, saya tidak ngoyo untuk promosi. Atau mung

Lintang, Sang Penghibur

Pixabay Hai namaku Lintang.  Ini kisahku dengan seseorang yang sangat aku sayangi... Orang-orang mengenalnya sebagai penemu alat pembunuh kanker yang kini sedang menjadi pembicaraan banyak kalangan. Katanya dia bergelar Profesor Doktor. Tapi ia memperkenalkan diri sebagai 'War' padaku saat kita pertama kali berbincang. Karena kupikir ia terlihat sangat dewasa, dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya, memberi kesan begitu 'pintar', maka kuputuskan untuk memanggilnya "Papi War". Namun, tahukah kalian, pertemuan pertama kali dengannya adalah ketika ia sedang menunggu bus di salah satu halte.  Ia terlihat basah kuyup. Memang hari itu hujan deras tengah mengguyur kota.  Aku terduduk lemas di sampingnya, menatap jalanan yang mulai tergenang air hujan. Sekilas ia menoleh padaku. Akupun menoleh padanya. Namun dia hanya diam saja. Akhirnya kuberanikan diri saja mengajak dia bicara terlebih dulu. Awalnya ia cuek saja. Ta