RUANG LINGKUP BIOLOGI MOLEKULER DALAM BIDANG KESEHATAN
A. Pengertian biomol
Biologi molekuler (biomol) merupakan kelanjutan dua cabang ilmu yang sudah ada sebelumnya, yaitu genetika dan biokimia. Awal biologi molekuler ditandai dengan adanya penemuan struktur heliks ganda DNA oleh Watson dan Crick pada thun 1953.
Penemuan lainnya adalah bahwa suatu gen menentukan suatu protein, mekanismenya dirumuskan dalam konsep yang dikenal sebagai dogma sentral yaitu urutan nukleotida dalam DNA menentukan urutan nukleutida dalam RNA yang selanjutnya menentukan urutan asam amino dalam protein.
Perkembangan biologi molekuler menjadi lebih dipercepat dengan munculnya rekayasa genetik yang memungkinkan penggandaan dan isolasi gen, sehingga struktur dan fungsi gen dapat dipelajari.
Gen merupakan bagian-bagian dari urutan asam nukleat yang terdapat pada DNA. Terdapat dua kategori gen, yaitu gen struktural dan gen regulator.
Gen-gen struktural mengkode urutan asam amino dalam protein, seperti enzim, yang menentukan kemampuan biokimia dari organisme pada reaksi katabolisme dan anabolisme, atau berperan sebagai komponen tetap pada struktur sel.
Gen-gen regulator berfungsi mengontrol tingkat ekspresi gen struktural, mengatur laju produksi protein produknya dan berhubungan dengan respon terhadap sinyal intra dan ekstraseluler.
B. Peran biomol dalam bidang kesehatan
Di bidang kesehatan perkembangan biologi molekuler memberi dampak pada hampir semua ilmu pre-klinik, seperti genetika, histologi, embriologi, fisiologi, mikrobiologi, parasitologi, patologi, imunologi, dan farmakologi.
Salah satu bentuk peranan biologi molekuler dalam bidang kesehatan adalah adanya terapi molekuler seperti pada pengobatan penyakit SCID (Severe Combained Immuno Deficiency), penanggulangan penyakit keturunan seperti talasemia, fibrosis kistik, hemophilia dan penyakit kanker.
C. Teknik biomol
Sejak akhir 1950-an dan awal 1960-an, ahli biologi molekuler telah belajar untuk karakterisasi, mengisolasi dan memanipulasi komponen molekul sel dan organisme.
1. Reaksi Berantai Polimerase (PCR)
Reaksi berantai polimerase merupakan teknik yang sangat fleksibel untuk menyalin DNA.
Sebagai contoh, PCR dapat digunakan untuk menambah situs enzim restriksi atau untuk memutasi basa tertentu pada DNA.
PCR juga dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu DNA fragmen tertentu ditemukan di perpustakaan cDNA.
2. Gel elektroferesis
Elektroferesis gel adalah salah satu alat utama biologi molekuler. Prinsip dasarnya adalah bahwa DNA, RNA dan protein dapat dipisahkan dengan medan listrik.
Dalam elektroferesis gel agarosa, DNA dan RNA dapat dipisahkan berdasarkan ukuran dengan menjalankkan DNA melalui gel agarosa.
Sedangkan protein dapat dipisahkan berdasarkan ukuran dengan menggunakan gel SDS-PAGE atau atas dasar ukuran dan muatan listrik dengan menggunakan elektroferesis gel 2D.
3. Array
Sebuah DNA array adalah kumpulan bintik melekat pada dukungan solid seperti sebuah slide mikroskop tempat masing-masing berisi satu atau lebih untai tunggal DNA fragmen oligonukleutida.
Sebuah variasi dari teknik ini memungkinkan ekspresi gen dari suatu organisme pada tahap tertentu dalam profiling ekspresi.
Pada teknik ini RNA dalam suatu jaringan diisolasi dan diubah menjadi cDNA berlabel, yang kemudian berhibridisasi dengan fragmen pada array dan visualisasi hibridisasi dapat dilakukan.
Dapat digunakan misalnya untuk membandingkan ekspresi gen pada jaringan yang sehat dan kanker.
D. Aplikasi biologi molekuler dalam bidang kesehatan
Penemuan-penemuan baru dalam bidang biologi molekuler mempunyai banyak peran dalam kehidupan manusia, misalnya menyingkap misteri di balik penyakit yang dahulu tidak diketahui asal usulnya, terapi gen, dan produk-produk bioteknologi.
Berikut ini beberapa aplikasi biologi molekuler di bidang kesehatan:
a. Pengembangan produk farmasi (sintesis produk biosimiliar; vaksin virus hepatitis B, produksi insulin rekombinan, dll)
b. Diagnosa penyakit dengan metode DNA rekombinan
c. Diagnosa penyakit genetik berdasarkan teknik hibridisasi DNA rekombinan
d. Terapi gen dalam pengobatan penyakit genetik
e. Forensik dengan menggunakan “DNA fingerprinting”
1. Produk farmasi
Bioteknologi telah menyediakan metode untuk produk farmasi yang memiliki keuntungan lebih murah, mengurangi resiko penggunaan produk akhir dan menghilangkan ketergantungan terhadap organ binatang.
Beberapa produk farmasi yang diproduksi dengan teknologi DNA rekombinan adalah sebagai berikut:
No
|
Produk
|
Kegunaan
|
1
|
Hormone adenococorticotropic
|
Pengobatan penyakit reumatik
|
2
|
Alfa dan gamma interferon
|
Terapi kanker dan infeksi virus
|
4
|
Sel beta factor pertumbuhan
|
Pengobatan kelainan imun
|
5
|
Erythropoietin
|
Pengobatan anemia
|
6
|
Hormone pertumbuhn manusia
|
Terapi defisiensi pertumbuhan pada anak
|
7
|
Lympotoxin
|
Anti tumor
|
8
|
Vaksin hepatitis B
|
Mencegah hepatitis B
|
9
|
Interleukin-2
|
Pengobatan kanker, merangsang system imun
|
10
|
Antibody monoclonal
|
Terapi kanker dan rejeksi transplantasi
|
11
|
Nerve growth factor
|
Memperbaiki saraf yang rusak
|
12
|
Praurokinase
|
Antikoagulan, terapi serangan jantung
|
13
|
Platelet derivate growth factor
|
Mengobati artherosclerosis
|
2. Diagnosis penyakit
Terdapat dua cara diagnosa penyakit menggunakan teknologi DNA rekombinan, yaitu:
· Melibatkan penggunaan antibodi
· Berdasarkan teknik hibridisasi DNA
3. Diagnose penyakit genetic
Penyakit genetik adalah penyakit yang disebabkan karena kerusakan informasi genetik baik tingkat gen maupun tingkat kromosom yang diturunkan ke generasi berikutnya.
Prinsip diagnosa berdasarkan teknik hibridisasi dapat digunakan untuk diagnose penyakit genetik.
Seperti pada penyakit alzeimer, probe (oligonukleutida pendek) DNA yang dirancang dapat berhibridisasi untuk mendeteksi mutasi tersebut.
4. Terapi gen dalam pengobatan penyakit genetik
Terapi gen adalah teknik untuk mengoreksi gen-gen yang cacat yang bertanggung jawab terhadap suatu penyakit.
Terdapat beberapa pendekatan dalam terapi gen, meliputi:
- Menambahkan gen-gen normal ke dalam sel yang mengalami ketidaknormalan
- Melenyapkan gen abnormal dengan gen normal melalui rekombinasi homolog
- Mereparasi gen abnormal dengan cara mutasi balik selektif
- Mengendalikan regulasi ekspresi gen abnormal.
5. Forensik dengan “DNA fingerprint”
Teknik ini berdasarkan pada aplikasi RFLP (Restriction Fragmen Length Polymorphism) yang didasarkan dengan fakta akan setiap individu yang walaupun memiliki gen yang sama, tetapi mempunyai perbedaan pada materi genetiknya (DNA).
Metode ini bertujuan untuk mengidentifikasi perbedaan materi genetik, dalam rangka menentukan apakah dua sampel DNA berasal dari orang yang sama atau berbeda.
Metode yang digunakan adalah PCR, RFLP, elektroforesis dan hibridisasi.
APLIKASI BIOLOGI MOLEKULER DALAM BIDANG KESEHATAN
A. Rekayasa genetik (DNA rekombinan)
Rekayasa genetik disebut juga cloning gen atau teknologi DNA rekombinan adalah proses pembentukan rekombinan baru dari material genetik dengan cara penyisipan suatu molekul asam nukleat asing (yang dihasilkan di luar sel) ke dalam suatu vektor, sehingga memungkinkan penggabungan dan kelanjutan berkembang/ diperbanyak di dalam sel inang yang baru.
Pada proses rekayasa genetika organisme yang sering digunakan adalah bakteri Escherichia coli. Bakteri Escherichia coli dipilih karena paling mudah dipelajari pada taraf molekuler.
Tiga faktor utama yang harus ada dalam proses rekayasa genetika, meliputi:
1. Vektor
→ pembawa gen asing yang akan disisipkan, biasanya berupa plasmid, yaitu lingkaran kecil DNA yang terdapat pada bakteri. Plasmid diambil dari bakteri dan disisipi dengan gen asing.
Plasmid
Ø DNA non-kromosom yang diisolasi dari bakteri (materi genetik berupa DNA yang terdapat pada bakteria namun tidak tergantung pada kromosom karena tidak berada di dalam kromosom)
Ø Struktur plasmid adalah dsDNA sirkuler
Ø Beberapa plasmid telah diseleksi dan diperbanyak untuk vektor DNA rekombinan.
Misalnya : PBR, 322, PUC 8, PUC 12
Vektor yang digunakan harus mempunyai sifat-sifat :
· Dapat menerima DNA yang diinsersikan
· Dapat bereplikasi dalam host (bakteri) sehingga dapat diisolasi DNA rekombinan dalam jumlah besar
· Mempunyai selectable marker sehingga memungkinkan seleksi klon yang spesifik
2. Bakteri
→ berperan dalam memperbanyak plasmid. Plasmid di dalam tubuh bakteri akan mengalami replikasi atau memperbanyak diri, makin banyak plasmid yang direplikasi makin banyak pula gen asing yang dicopy sehingga terjadi cloning gen.
3. Enzim
→ berperan untuk memotong dan menyambung plasmid. Enzim ini disebut enzim endonuklease retriksi yaitu enzim endonuklease yang dapat memotong DNA pada posisi dengan urutan basa nitrogen tertentu.
Pada dasarnya upaya untuk mendapatkan suatu produk yang diinginkan melalui teknologi DNA rekombinan melibatkan beberapa tahap berikut:
1. Isolasi DNA genomik (kromosom yang akan diklon)
2. Pemotongan melaui DNA menjadi sejumlah fragmen
3. Isolasi DNA vector
4. Penyisipan fragmen DNA kedalam vector untuk menghasilkan molekul DNA rekombinan
5. Transformasi sel inang menggunakan molekul DNA rekombinan
v Isolasi DNA
→ perusakan atau pembuangan dinding sel yang dapat dilakukan dengan cara mekanis seperti sonikasi tekanan tinggi maupun dengan enzimatis.
v DNA cloning
→ teknik untuk memperbanyak gen yang telah diidentifikasi
Mekanisme DNA rekombinan
· Isolasi dan identifikasi DNA dari DNA genom dengan cara memotong DNA dengan enzim retriksi dan identifikasi sekuens DNA
· Menginsersikan DNA yang akan diklon ke vector sehingga terbentuk DNA rekombinan yang dapat bereplikasi
B. Terapi gen
Terapi gen adalah penyiapan gen ke dalam sel individu dan jaringan untuk mengobati penyakit, seperti penyakit keeturunan dimana suatu alel mutan merusak diganti dengan yang fungsional.
Terapi gen dapat diartikan pula sebagai teknik untuk mengoreksi gen-gen yang cacat yang bertanggunngjawab terhadap suatu penyakit.
Terapi gen dikelompokan sebagai berikut:
1. Terapi gen germ-line
Terapi ini dimaksudkan untuk memasukkan gen ke dalam sel germ atau sel embrio omnipoten.
Dalam hal ini, sel-sel kuman yaitu sperma dan sel telur dimodifikasi oleh pengenalan gen fungsional yang biasanya diintegrasikan ke dalam genom mereka. Oleh karena itu, perubahan akibat terapi akan diwariskan ke generasi berikutnya.
Namun atas dasar teknis dan etika, penerapan terapi dengan metode ini masih belum dapat diaplikasikan pada manusia.
2. Terapi gen somatik
Dilakukan dengan memasukkan suatu gen kedalam sel somatik.
Gen terapeutik dipindahkan ke dalam sel somatik pasien. Setiap modifikasi dan efek dibatasi hanya pada pasien yang bersangkutan, dan tidak diturunkan pada generasi berikutnya.
Selama ini pendekatan terapi gen yang berkembang adalah melalui:
- Pendekatan dengan menambahkan gen-gen normal kedalam sel yang mengalami ketidaknormalan.
- Pendekatan dengan melenyapkan gen abnormal dengan gen normal dengan melakukan rekombinasi homolog.
- Pendekatan dengan mereparasi gen abnormal dengan cara mutasi balik selektif sedemikian rupa hingga akan mengembalikan fungsi normal gen tersebut.
- Pendekatan dengan mengnedalikan regulasi ekspresi gen abnormal tersebut.
Terapi gen ex vivo
Sel dari sejumlah organ atau jaringan (seperti kulit, sistem hemopoiteik, hati) atau jaringan tumor dapat diambil dari pasien dan dibiakkan dalam laboratorium.
Selama pembiakan, sel tersebut dimasuki suatu gen tertentu untuk terapi penyakit, diikuti dengan reinfusi atau reimplementasi dari sel tertransduksi ke pasien tersebut.
Terapi gen ex vivo banyak digunakan pada uji klinis dengan menggunakan vektor retrovirus untuk memasukkan suatu gen ke dalam sel penerima.
Contohnya adalah terapi gen p53 untuk kondisi karsinoma squamus kepala dan leher, sedangkan sel targetnya adalah sel tumor.
Terapi gen in vivo
Organ seperti paru-paru, otak, jantung tidak cocok untuk terapi gen ex vivo, sebab pembiakan sel target dan retransplantasi tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu, terapi gen somatik dilakukan dengan pemindahan gen in vivo.
Sistem penghantar gen in vivo yang ideal adalah efisiensi tinggi masuknya gen terapeutik dalam sel target. Gen tersebut dapat masuk kedalam inti sel dengan sedikit mungkin terdegradasi, dan tetap terekspresi walaupun ada perubahan kondisi.
TERAPI GEN DENGAN PENDEKATAN TERAPI RNA (siRNA)
A. Pendahuluan
Terapi gen adalah teknik untuk mengoreksi gen-gen yang cacat yang bertanggung jawab terhadap suatu penyakit. Selama ini pendekatan terapi gen yang berkembang adalah menambahkan gen-gen normal ke dalam sel yang mengalami ketidaknormalan. Pendekatan lain adalah melenyapkan gen abnormal dengan gen normal dengan melakukan rekombinasi homolog. Pendekatan ketiga adalah mereparasi gen abnormal dengan cara mutasi balik selektif, sedemikian rupa sehingga akan mengembalikan fungsi normal gen tersebut. Selain pendekatan-pendekatan tersebut, ada pendekatan lain untuk terapi gen, yaitu mengendalikan regulasi ekspresi gen abnormal tersebut (Holmes, 2003).
Perkembangan terapi gen yang terkini untuk penyakit-penyakit adalah lebih ke arah gagasan mencegah diekspresikannya gen-gen yang jelek atau abnormal, atau dikenal dengan gene silencing. Untuk tujuan gene silencing atau membungkam ekspresi gen tersebut, maka penggunaan RNA jika dibandingkan dengan DNA lebih dimungkinkan, sehingga dikenal istilah RNA therapeutic (Adams, 2005).
Prinsipnya adalah sebagai berikut, setiap produk gen (DNA) akan menghasilkan mRNA yang selanjutnya akan diproses menjadi protein yang akan berfungsi untuk replikasi dan perkembangbiakan suatu agen penyakit. Jika RNA yang akan berikatan dengan mRNA bisa dirancang, otomatis proses mRNA menjadi protein akan terganggu. Akibatnya, protein tidak akan terbentuk sehingga agen penyebab penyakit tidak bisa berkembang biak.
Pemikiran terapi RNA muncul pada tahun 1977-an, dimulai dengan penggunaan antisense RNA. Antisense RNA adalah RNA berbenang tunggal (single strain RNA) yang sekuennya berlawanan (complementary) dengan target mRNA. Antisense RNA akan berikatan dengan mRNA sehingga menghambat produksi protein dan perkembangbiakan agen penyakit.
Prinsip terapi antisense RNA merupakan pemikiran yang brilian yang sebenarnya mengadopsi kondisi alamiah seperti di dalam mekanisme pertahanan tanaman terhadap virus, dan suatu mekanisme yang sama pada nematoda Caenorhabditis elegans (Pfeffer, 2004; Lee, 1993).
Mekanisme kerja antisense RNA adalah sebagai berikut:
- Untai RNA yang ditranslasi disebut sebagai untai sense. Sementara itu, untai yang mempunyai sekuens basa nukleotida komplemen dengan untai sense disebut antisense. Jika untai sense berikatan dengan untai antisense membentuk dupleks, maka terjadi pemblokiran proses translasi yang mengakibatkan terjadinya penghambatan ekspresi gen (Penman, 2002). Hal ini dapat terjadi disebabkan ribosom tidak memperoleh akses ke pada nukleotida pada untai mRNA, atau yang dapat pula terjadi adalah disebabkan bentuk duplex RNA sangat mudah terdegradasi oleh enzim pendegradasi ribonukleat, ribonuclease, di dalam sel. (Penggunaan metode DNA rekombinan daripada RNA rekombinan, lebih memungkinkan untuk menghantarkan gen sintetis yang menyandikan molekul RNA antisense ke dalam suatu organisme dengan relatif lebih stabil).
- Suatu antisense mRNA (aRNA) jika dimasukkan ke dalam sel suatu organisme, maka aRNA akan berikatan dengan mRNA yang ada di dalam sel tersebut sehingga membentuk suatu dupleks. Terbentuknya dupleks RNA ini akan menyebabkan terjadinya penghambatan ekspresi gen pada tahap translasi.
- Untuk berlangsungnya proses translasi, selain ribosom sebagai mesin pensintesis protein, maka diperlukan pula mRNA untai tunggal, juga diperlukan tRNA yang membawa asam amino-asam amino, serta protein-protein kecil khusus yang terkandung di dalam ribosom (Thenawijaya, 1994).
Aplikasi antisense RNA sempat menemui kendala sehingga sulit diaplikasikan, tetapi ada terobosan baru untuk terapi RNA, yaitu dengan menggunakan siRNA (small interfering RNA).
SiRNA (small interfering RNA), sesuai dengan namanya, adalah RNA pendek yang terdiri atas 21-23 pasangan basa (base pair). RNA ini bisa mengakibatkan penguraian mRNA yang dinamakan interferensi RNA (RNA interference) yang biasanya disingkat dengan RNAi.
Prinsipnya sama dengan gangguan produksi suatu protein oleh antisense RNA. Namun, berbeda dengan antisense RNA, siRNA adalah benang ganda yang relatif lebih stabil sehingga dalam aplikasinya siRNA bisa diintroduksikan baik dengan injeksi langsung maupun dengan mengkloningnya ke vektor seperti plasmid.
Fenomena RNAi ini pertama kali ditemukan pada cacing Caenorhabditis elegans . Tahun 1998, Andrew Fire dari Carnegie Institution of Washington bekerja sama dengan peneliti dari Johns Hopkins University dan University of Massachusetts Cancer Center, Amerika Serikat (AS), menemukan adanya respons terhadap RNA pasangan ganda (double-stranded RNA, dsRNA) yang mengakibatkan tidak berfungsinya gen yang spesifik terhadap sekuen barisan RNA tersebut (Fire et al, 1998).
Mereka membuktikan bahwa dsRNA dapat menghambat ekspresi gen unc-22, gen yang mengodekan protein pembentuk serat otot (myofilament) yang banyak ditemui dalam tubuh C elegans.
Dari hasil penelitian selama ini dibuktikan bahwa siRNA lebih efektif dan spesifik dibandingkan dengan antisense RNA. Lebih dari itu, efek yang ditimbulkan oleh siRNA ini tidak hanya memberikan efek pada gen makhluk tersebut, tetapi bisa terjaga sampai pada keturunan berikutnya .
Konsep dasar RNAi pertama kali ditemukan oleh Napoli dkk (1990) kelompok ilmuwan biologi molekuler pada tumbuhan yang telah terlebih dahulu menemukan efek dsRNA pada penghambatan ekspresi gen pada tumbuhan. Penelitian yang sama dilakukan oleh Fire dan Mello beserta kolega-koleganya untuk melihat fenomena ini pada hewan dengan menggunakan model cacing C. elegans yang kemudian mendapatkan hadiah nobel pada tahun 2006.
Fenomena RNAi ini kemudian ditemukan di berbagai makhluk hidup dan diperkirakan ada pada semua makhluk hidup.
Adapun fungsi alami dari siRNA ini adalah untuk regulator ekspresi gen, baik gen yang ada dalam tubuhnya sendiri maupun gen yang datang dari luar. Ini merupakan sistem pertahanan alami yang dimiliki setiap makhluk hidup.
Penemuan ini menarik perhatian banyak ahli untuk mengaplikasikannya sebagai salah satu terapi untuk berbagai penyakit menular, terutama yang disebabkan oleh virus yang sudah diketahui keseluruhan gennya. Artinya, penggunaan siRNA yang spesifik dengan RNA suatu virus akan menghambat ekspresi RNA virus tersebut. Secara tidak langsung akan menghambat pula perkembangbiakan virus sehingga pasien akhirnya bebas dari infeksi virus.
Secara umum konsep dasar dari mekanisme ini adalah menghambat (suppression) proses translasi suatu mRNA dari gen yang cacat agar tidak menghasilkan suatu protein yang abnormal (gene silencing). Hal ini bisa dilakukan dengan mengintroduksikan suatu dsRNA sintetik atau plasmid rekombinan pembawa dsRNA yang akan ditranskripsi pada sel target. Enzim dicer yang ada didalam sel akan mengenali dsRNA sebagai suatu material genetik asing yg abnormal sehingga akan dipotong2 menjadi fragmen2 dsRNA kecil dengan panjang sekitar 24-25 nukleotida dengan 2 nukleotida yang tidak berpasangan pada kedua ujungnya yg kemudian dikenal sebagai siRNA (small-interfering RNA). siRNA ini kemudian akan diidentifikasi oleh suatu kompleks multi-protein berisikan ribonuklease (ribonuclease-containing multi-protein complex) atau diistilahkan dengan RISC (RNA-induced silencing complex) yang akan memisahkan rangkaian utas ganda siRNA menjadi utas tunggal. Utas tunggal dari siRNA ini kemudian dibawa oleh RISC, untuk berpasangan dengan mRNA (messenger RNA) yang menjadi target, setelah siRNA dibawa oleh RISC berpasangan dengan mRNA target, 'slicer' yang terdapat pada molekul RISC akan memotong mRNA target. Pada hewan, mRNA yang terpotong ini akan teridentifikasi oleh sel sebagai mRNA yang menyimpang atau rusak (aberrant mRNA) dan langsung dihancurkan oleh metabolisme sel, untuk mencegah terjadinya penerjemahan menjadi protein yang abnormal.
Pembuatan dsRNA bisa dilakukan dengan membuat set dsRNA rekombinan dalam suatu plasmid dengan dua ORF yg komplemen dengan gen target dimana urutan nukleotida pada ORF 1 merupakan kebalikan dari dari ORF 2 yang terletak downstream, sehingga ketika ditranskripsi akan menghasilkan 2 polimer mRNA yang komplemen sehingga bisa berhibridisasi.
Secara teori penghantaran siRNA dapat dilakukan sebagai berikut:
· introduksi langsung siRNA sinetik
· introduksi suatu plasmid atau virus yang menyandi sekuens gen yang akan memproduksi siRNA yang sesuai
· menggunakan liposom dan kitosan sebagai sejenis microencapsulation siRNA untuk proses injeksinya, efektivitasnya sudah cukup tinggi dan menunjukkan hasil yang baik. (Esther chang dari George Washington, 2008)
B. Terapi siRNA
Saat ini telah diuji kemampuan siRNA untuk menghambat perkembangbiakan beberapa virus. Glen A Lobun dan Bryan R Cullen dari Duke University Medical Center, AS, membuktikan bahwa siRNA yang dirancang untuk protein Tat dan Rev dari virus HIV berhasil memblokir ekspresi kedua gen tersebut secara spesifik (Lobun and Cullen, 2002).
Yang penting lagi, pemblokiran ekspresi gen mengakibatkan gangguan terhadap replikasi dan perkembangbiakan virus HIV tersebut.
Grup yang dipimpin oleh Charles M Rice dari Rockefeller University, AS, berhasil menekan replikasi virus hepatitis C (HCV) dengan menggunakan siRNA yang ditargetkan terhadap enzim polimerase dari virus tersebut (Hsu et al, 2003). Karena enzim ini penting untuk replikasi virus, penghambatan ekspresi enzim akan menghambat replikasinya.
Pada saat yang berbeda, gabungan grup peneliti dari Tokyo Medical and Dental University dan National Institute of Advanced Industrial Science and Technology, Jepang, juga berhasil menekan replikasi HCV dengan menggunakan siRNA yang spesifik untuk Internal Ribosome Entry Site (IRES), sekuen yang penting untuk inisiasi translasi mRNA menjadi protein (Yokota et al, 2003).
Beberapa peneliti juga telah membuktikan bahwa siRNA dapat menghambat replikasi dan perkembangbiakan virus-virus lain seperti virus influenza (Ge et al, 2003) dan virus polio (Gitlin et al, 2002).
TERAPI siRNA PADA PENDERITA HIV AIDS
A. Ruang lingkup HIV AIDS
Penelitian mengenai HIV dimulai pada 1983 saat kelompok peneliti Perancis yang diketuai Luc Montagnier menduga bahwa ada hubungan antara retrovirus dengan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Setahun berikutnya, Robert C Gallo dan kawan-kawan berhasil mengisolasi retrovirus dari pasien AIDS. Virus ini kemudian diberi nama HIV (Human Immunodeficiency Virus).
HIV adalah retrovirus yang menggunakan RNA sebagai genom. Untuk masuk ke dalam sel, virus ini berikatan dengan receptor (CD4) yang ada di permukaan sel. Artinya, virus ini hanya akan menginfeksi sel yang memiliki receptor CD4 pada permukaannya. Karena biasanya yang diserang adalah sel T lymphosit (sel yang berperan dalam sistem imun tubuh), maka sel yang diinfeksi oleh HIV adalah sel T yang mengekspresikan CD4 di permukaannya (CD4+ T cell).
Setelah berikatan dengan receptor, virus berfusi dengan sel (fusion) dan kemudian melepaskan genomnya ke dalam sel. Di dalam sel, RNA mengalami proses reverse transcription, yaitu proses perubahan RNA menjadi DNA. Proses ini dilakukan oleh enzim reverse transcriptase.
Proses sampai step ini hampir sama dengan beberapa virus RNA lainnya. Yang menjadi ciri khas dari retrovirus ini adalah DNA yang terbentuk kemudian bergabung dengan DNA genom dari sel yang diinfeksinya. Proses ini dinamakan integrasi (integration). Proses ini dilakukan oleh enzim integrase yang dimiliki oleh virus itu sendiri. DNA virus yang terintegrasi ke dalam genom sel dinamakan provirus.
Dalam kondisi provirus, genom virus akan stabil dan mengalami proses replikasi sebagaimana DNA sel itu sendiri. Akibatnya, setiap DNA sel menjalankan proses replikasi secara otomatis genom virus akan ikut bereplikasi. Dalam kondisi ini virus bisa memproteksi diri dari serangan sistem imun tubuh dan sekaligus memungkinkan manusia terinfeksi virus seumur hidup (a life long infection).
Spesifikasi HIV terhadap CD4+ T cell ini membuat virus ini bisa digunakan sebagai vektor untuk pengobatan gen (gene therapy) yang efisien bagi pasien HIV/AIDS. Soalnya, vektor HIV yang membawa gen anti-HIV hanya akan masuk ke dalam sel yang sudah dan akan diinfeksi oleh virus HIV itu sendiri.
B. Terapi siRNA pada penderita HIV/ AIDS
Salah satu strategi dalam menyembuhkan penderita HIV/AIDS dengan terapi antisense adalah dengan menggunakan short interfering RNA (siRNA).
Prinsip dari terapi ini adalah menggunakan small RNA yang dapat menghambat ekspresi beberapa gen spesifik virus HIV/AIDS, sehingga dapat menghentikan sintesis protein yang digunakan virus untuk bertahan hidup, diantaranya adalah protein yang terlibat dalam replikasi. Selain itu, terapi dengan siRNA juga dapat menghambat ekspresi gen spesifik pada sintesis protein yang mendukung infeksi virus HIV/AIDS ke dalam sel host.
siRNA adalah RNA double stranded yang terdiri dari 21 -23 pasangan basa yang mampu membentuk komplement dengan target sekuen spesifik mRNA. SiRNA berasosiasi dengan molekul helikase dan nuclease membentuk kompleks dengan RISC (RNA-inducing silencing compleks) yang akan melepaskan komplemen siRNA membentuk ss-siRNA dan kemudian kompleks ini akan dapat berkomplement dengan mRNA target, sehingga akan memotong mRNA target. Selanjutnya potongan-potongan mRNA akan didegradasi oleh enzim RNase (Kitabwalla dan Ruprecht, 2002).
Penghancuran mRNA virus HIV/AIDS yang dimediasi oleh siRNA selanjutnya akan menghentikan sintesis protein yang essensial bagi virus untuk melakukan replikasi di dalam sel host dan atau tidak dapat keluar dari sel host, sehingga akan membatasi infeksi pada sel-sel sehat lainnya.
Terapi pasien yang terinfeksi virus HIV/AIDS saat ini didasari pada ekspresi beberapa protein penting dalam virus HIV/AIDS yang mendukung infeksi virus ke dalam sel host, replikasi dan pembentukan lapisan kapsid, serta protein-protein yang terlibat pada tahap akhir replikasi dan protein yang dibutuhkan untuk proses lisis (keluar dari sel).
Beberapa protein yang mendukung proses infeksi ke dalam host (disebut juga sebagai protein kofaktor selular) diantaranya adalah NF-B, CD4 reseptor HIV, co-reseptor CXCR4 dan CCR5. Berbagai protein ini bisa dijadikan sebagai target dalam terapi HIV/AIDS dengan menggunakan siRNA.
Beberapa hasil penelitian yang direview oleh Reddy, et.al. (2006) menyimpulkan bahwa semua ekspresi gen dalam sintesis protein NFB, CD4 reseptor HIV, co-reseptor CXCR4 dan CCR5 telah berhasil dihambat oleh siRNA dan mengakibatkan penghambatan dalam replikasi virus HIV dalam beberapa cell line manusia, sel limposit T dan hematopoetics stem cells yang berasal dari magropagh.
Selain itu, siRNA juga telah terbukti menghambat ekspresi gen pada sintesis protein CD4, protein gag dan nef (protein yang terlibat dalam regulasi mRNA virus di dalam sel host). CD4-siRNA mampu mengurangi ekspresi gen protein CD4 pada sel Magi CCR5 yang terinfeksi virus HIV-1 sebesar 75% (Novina, et.al., 2207).
Poliprotein gag (diekspresikan oleh gag gen virus HIV/AIDS) akan dipecah secara proteolitik menjadi polipeptida p24, p17 dan p15 dan akan membentuk struktur inti kapsul virus. Polipeptida p24 berfungsi sebagai pelapis atau kemasan materi genetik virus.
p24-siRNA telah terbukti mengakibatkan degradasi pada region gag mRNA virus, mengakibatkan penghambatan akumulasi genomik virus dan p24. Akibatnya adalah terjadinya penghambatan replikasi virus HIV-1 dalam sel host. Dua hari setelah pemberian p24-siRNA terjadi penurunan protein virus HIV-1 sebesar empat kali lipat dibanding kontrol. Protein nef adalah salah satu protein regulasi (non-struktural protein) yang diekspresikan oleh virus HIV-1 sebelum terintegrasi dengan genom host. Penghambatan ekspresi gen p24 dan nef akan menghambat perbanyakan virus pada tahap awal selama infeksi berlangsung (Novina, et.al., 2002).
Para peneliti merekayasa kombinasi ketahanan genetik ke dalam sel induk yang bertujuan untuk menghapus sel-sel sistem kekebalan yang rentan terhadap HIV dan diganti dengan sel-sel yang mampu melawan serangan virus.
Ada tiga langkah sebagai berikut:
a. Untuk menghentikan HIV dari penetrasi sel inang, para peneliti memberikan sel-sel enzim RNA yang akan memberi pesan kode untuk protein yang disebut CCR5, mencegah HIV menggunakan protein sebagai reseptor untuk masuk sel.
b. Para peneliti menggunakan modus kedua dan memasukkan umpan RNA dengan protein virus disebut tat yang penting untuk replikasi, disebabkan mix CCR5 yang tidak aman karena HIV dapat berkembang dengan cara lain untuk menembus sel.
c. Menggunakan teknik yang disebut RNA interference (RNAi) yang ditempatkan pada untaian pendek RNA untuk mendegradasi pesan coding protein virus yang sama dan mitra jahat.
Mekanisme yang berbeda tersebut akan mempersulit resistensi virus untuk berkembang. (John Rossi, biologi molekuler dari Beckman Research Institute City of Hope di Duarte, California, 2010)
C. Efek samping siRNA
Walaupun demikian, aplikasi penggunaan siRNA masih menimbulkan efek samping. Hal ini dikarenakan siRNA sengaja didesain untuk mampu berikatan dengan sekuen spesifik mRNA virus, atau dengan kata lain siRNA adalah komplement dari mRNA spesifik virus HIV/AIDS yang dapat bertindak sebagai antigen.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian siRNA dapat memicu beberapa efek samping, diantaranya adalah memicu aktifitas sistem immun dan penghambatan ekspresi gen normal lainnya yang terjadi secara tidak sengaja. Aktifasi sistem immun yang berlebihan karena pemberian siRNA bisa mengakibatkan efek toksik bagi tubuh.
D. Solusi untuk efek samping siRNA
Perkembangan dunia formulasi obat dan sintesis obat berdasarkan ”struktur based design” atau ”rasional drug design” cukup memungkinkan untuk menghindari efek samping pada terapi dengan siRNA. Dengan menggunakan strategi sistem penghantaran terikat antibodi (antibody delivery system) atau melapisi siRNA dalam liposom terbukti mampu menghambat ekspresi gen mRNA target tanpa memicu aktifasi sistem immun (Song, et.al., 2005).
Strategi lainnya adalah dengan melakukan modifikasi struktur basa dari siRNA, sehingga mampu mengurangi resiko efek samping dan lebih spesifik hanya mampu berikatan dengan mRNA virus HIV/AIDS. Siould dan Furset (2006) melakukan modifikasi terhadap residu 2’-hidroksi basa uridin siRNA dengan mengganti gugus 2’hidroksi dengan 2’-flouro, 2’-deoksi atau 2’-O-metil terhadap ss-siRNA dan siRNA duplex ternyata mampu menahan aktifasi sistem immun. Diduga modifikasi pada bagian 2’- basa uridin mampu melindungi siRNA, sehingga tidak dikenali oleh sistem immun.
DAFTAR PUSTAKA
- Ghaffar, Shabarni, 2007, Buku Ajar Bioteknologi Molekuler, Unpad Press; Bandung
- http://www.scribd.com/doc/44229918/Peran-Biologi-Molekuler-Di-Bidang-Kesehatan
- http://www.scribd.com/doc/59885940/Apa-Itu-Terapi-Gen
- http://www.scribd.com/doc/38976616/Dna-Rekombinan
- Yance Anas, S.Farm, Apt. 2010 Bioteknologi Farmasi : Pengobatan AIDS dengan terapi antisense RNA. PROGRAM STUDI ILMU FARMASI FAKULTAS PASCA-SARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
- Amarila Malik, Departemen Farmasi FMIPA-UI, Universitas Indonesia, Depok :Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. II, No.2, Agustus 2005, 51 – 61.
Komentar
Posting Komentar